Rangkai II [Dia Terluka]

434 73 156
                                    

Selamat Membaca!

Beberapa orang tetap bertanya meski sudah tahu jawabannya

***

Tubuhnya bergeming, belah bibirnya menganga yang refleks ditutupinya menggunakan kedua telapak tangan, sepasang manik matanya membelalak bersamaan kebekuan yang menjalari aliran darahnya ketika melihat pemandangan yang sama sekali tidak diduganya.

Di sudut ruangan, di samping pintu. Seorang cowok terkulai lemah dalam keadaan penuh luka lebam dan darah kering disekujur tubuhnya, berpakaian kotor dan lusuh. Yang tidak dipercayainya, kedua tangan cowok itu dirantai yang terhubung pada dinding ruangan.

Rellya tak melihat wajahnya sebab cowok itu bersimpuh sembari menundukkan kepalanya, helai rambutnya lepek menjuntai menutupi wajahnya.

Rellya menggigit bibir bawahnya keras, ia tidak akan berteriak meminta tolong. Karena mungkin itu bukanlah solusi yang tepat. Dalam kebingungan yang belum bisa dicernanya penuh, kedua kakinya terayun, menghampiri cowok itu dengan langkah pelan dan awas.

Ketika ujung sepatunya ditangkap oleh penglihatan kabur dari si cowok, Rellya merendahkan tubuhnya, berjongkok, meneguk ludahnya gamang.

“Lo…,” Rellya masih terperangah, oleh sebabnya ia merasa suaranya tercekat ditenggorokan,

Ia semakin takut dan berniat kabur saja tatkala wajah penuh kebiruan itu mendongak perlahan dengan gerakan yang menyiratkan kengiluan dihati Rellya, sepasang mata abu-abu menatapnya dalam satu garis pandang lurus.

Rellya membisu sejenak.

Wajah cowok itu, sangat ironi membuat hati Rellya merasa tersayat diam-diam.

“Lo kenapa bisa kayak gini…?” tanya Rellya pelan, suaranya mengalun diakhir kalimat lantaran sesuatu yang bening melesak keluar di pelupuk matanya. Ia membekap mulutnya, menahan diri agar tidak menangis iba.

“Kunci. Cowok kaos biru. Pintu belakang.” Suara serak yang dipaksakan keluar menyebabkan cowok itu terbatuk mengeluarkan darah, nyeri di luka yang ia dapatkan disekujur kian menggerogoti kesadarannya, pandangannya bahkan mulai buram. Ia tak melihat jelas kecuali wajah perempuan yang sedang menahan tangis.

Rellya tergagap, “Mak-maksudnya--”

“Cepat, bego.” Umpat cowok itu, kepalanya tertunduk menahan nyeri yang berimbas setiap ia bersuara dan bergerak sedikitpun, ditambah kedua tangan yang dirantai terasa sudah menimbulkan jejak kemerahan yang akan lama menghilang.

Otak Rellya perlahan menerjemah cekatan, ia menganggukan kepalanya cepat berkali-kali. “Gue-gue ngerti. Lo tunggu di sini, gue bakal balik secepatnya. Lo harus tetap sadar, ok?”

Susah payah, cowok itu mengangguk.

Rellya tidak membuang waktu lebih lama, ia segera berdiri, bergegas keluar ruangan melalui pintu, gerakannya hati-hati tidak ingin menimbulkan suara atau kecurigaan. Begitu sampai di luar ruangan, barulah ia menghela napas panjang. Matanya mengerjap menyadari tindakannya yang lancang memasuki ruangan itu malah berakhir ia menemukan seorang cowok dalam keaadaan mengenaskan.

Rellya menatap pintu cokelat dibelakangnya, meyakinkan diri jika tindakannya yang menuruti perintah cowok itu adalah benar. Kunci, cowok kaos biru, pintu belakang. Tidak salah lagi, cowok itu menyampaikan bawah kunci yang mengaitkan rantai ditangannya berada di pemuda berkaos biru yang tak lain.

Rellya beranjak menyusuri rak-rak kaset, matanya bependar teliti kemudian ia melihat pemuda yang sempat menggodanya tadi sedang berbicara dengan seorang cowok yang usianya tampak lebih muda. Dahinya mengerut, ia merasa tak asing terhadap wajah lawan bicaranya yang mengenakan jaket cokelat itu, hanya saja Rellya hanya bisa mengamati wajah itu dari samping sehingga ia tak bisa melihat jelas.

FearsomeWo Geschichten leben. Entdecke jetzt