[Keping Dua : Terkuak]

129 18 42
                                    

Di lapangan basket, ia melihat Felis dan Gafa yang sedang bermain bola basket di tepi lapangan. "Lo darimana, sih, Farren? Ya kali baru masuk sekolah setelah absen dua hari udah bolos aja lo," celetuk Felis.

"Dimana?"

"Hah? Apanya dimana? Siapa maksud lo?" tanya Felis membeo, bola jingga dilemparkannya pada Gafa, memandang Altair yang baru sampai dengan napas terengahnya akibat berlari menyusul Farren dan kini berdiri di samping cowok itu.

Altair mengangkat kedua tangannya, menggelengkan kepala, tanda tidak tahu apa-apa sebagai jawaban untuk Felis.

"Oh, cewek itu?" Gafa yang men-dribble bola kegemarannya sangat fokus sukses mengalihkan perhatian ke arahnya. Merasakan tatapan Farren mematikan untuknya, ia bersuara kalem tanpa berpaling dari permainan bolanya, "Barusan pergi. Kayaknya nahan nangis, ketahuan pacarnya selingkuh,"

"Gaf," tegur Felis yang paham kalimat Gafa berupa sindiran, sekaligus petunjuk informasi bagi Farren yang tidak menganggap serius ucapan Gafa.

"Thanks, Gaf." Sebelum berlalu, Farren menepuk bahu Gafa ketika melewatinya. Ia paham, sebenarnya Gafa tidak bermaksud memancingnya ribut karena memang begitulah pembawaan cowok itu. Tidak pandai berbicara lembut dan bagus. Mirip dirinya.

Meninggalkan area sekolah yang sudah sepi sekaligus motornya yang terparkir di pelataran Madava, ia memilih berjalan kaki mencari keberadaan seseorang yang diyakininya belum pergi jauh. SMA Madava berseberangan dengan Café,minimarket kecil dan beberapa tempat sejenis tongkrongan anak muda yang sering dikunjungi murid Madava ketika pulang sekolah. Di bahu jalan, terdapat trotoar yang digunakan pejalan kaki yang sebagian adalah murid Madava yang ingin pulang menaiki transportasi umum. Meskipun Madava termasuk SMA elite, sebagian muridnya juga adalah murid berpestasi dari keluarga sederhana yang mendapatkan beasiswa, sehingga tidak semuanya membawa kendaraan mewah ke sekolah.

Oleh naluri yang menuntunnya, ia berjalan menyusuri trotoar, menuju halte terdekat dari Madava. Benar saja. Seorang gadis tampak duduk sendiri di bangku halte. Kepalanya menunduk. Semakin kakinya maju mendekati, ia menyadari tangan kecil yang mencengkeram kuat kain roknya hingga membekas kusut.

"Langsung pulang?"

Suara rendah itu sepertinya mengejutkan sang gadis. Mendongak kaku, Rellya mengerjapkan matanya yang terasa perih, dijejal oleh bulir bening yang ditahannya meluncur sedemikian mudahnya.

***

Ia sebetulnya tidak terlalu membenarkan keputusannya datang ke SMA Madava sepulang sekolah. Hatinya tidak memungkiri bahwa satu nama kerap susah untuk tidak diingatnya. Tentang permintaan Deva yang ingin ia menjauhi Farren. Alih-alih menurut begitu saja dalam ketakutan yang sebenarnya ada, ia justru ingin bertemu orang yang membayangi pikirannya. Memastikan keadaannya baik-baik saja.

Alhasil, setelah membayar ongkos ojol-nya yang berhenti tepat di depan gerbang Madava, ia melantas masuk melewati gerbang yang dibuka, menunduk demi menyamarkan diri dibalik seragam Ganantranya yang terbalut jaket hitam milik Farren. Hal itu tidak terlalu mengentarakan dirinya yang berstatus beda dari murid Madava yang berada disekitarnya.

Jam pulang sudah lewat sedari tadi. Dengan modal nekat, ia masuk ke gedung utama, melihat meja piket yang beberapa murid Madava disana tengah bercengkerama. Memendarkan matanya lalu menemukan ketiga cowok yang dikenalnya sedang berkumpul di tribune lapangan basket yang luas.

Langkahnya meragu sembari otaknya tengah kesusahan merangkai kalimat pembuka yang akan dimulainya ketika suara salah satu diantaranya terdengar nyaring, "BANGKE! DEMI APA INI GUE GAK SALAH ORANG, KAN?!"

Altair melongo memandang Rellya yang berjalan ke arah mereka, secara tidak sengaja bola ditangannya dilempar mengenai kepala Felis yang duduk di bangku tribune.

FearsomeWhere stories live. Discover now