Rangkai LXI : [Imbas Ego]

69 8 0
                                    

*****

"Guys, jadwal ujian udah keluar, ya! Udah gue tempel di papan informasi kelas. Gue share ke grup juga." Begitu sorakan kentara keluhan keluar dari mulut teman-temannya, Ananta mendobrak meja sekali. Ketua kelas kebanggaan itu menampilkan ekspresi menyemangati. "Semangat ujian, guys! Ayo kita akhiri semester ini dengan terbaik."

Sorakan saling berbalas dari satu meja ke meja lain, kian rusuh. Sebagian menyayangkan semester ini yang terlalu cepat berlalu. Takut menghadapi ujian kenaikan kelas sebab belum maksimal menyiapkan diri.

"Jangan lupa semester berikutnya kita udah kelas dua belas. Buat nilai sebagusnya. Peluang jalur undangan makin besar kalau nilai rapor kita meningkat. Semangat!"Petuah terakhir Ananta sebelum ia beranjak dari meja guru dan kembali bergabung bersama teman-temannya di meja pojokan.

Situasi kelas XI IPA-4 itu semula sudah tidak kondusif. Guru fisika yang seharusnya masuk berhalangan hadir sebab sakit. Alih-alih merasa dibebaskan, murid sekelas justru mengeluh lantaran salah satu guru senior itu berpesan pada Ananta selaku ketua kelas agar menyampaikan informasi berupa tugas menrangkum satu bab topik 'gelombang' sebagai bab terakhir di buku paket.

Tentu saja, khas murid SMA ketika sebagian memilih patuh mengerjakan, sebagian lain membolos ke kantin, dan sisanya menetap di kelas tetapi mengerjakan hal lain. Sebut saja, sekelompok yang menghidupkan musik melalui speaker pribadi lantas bernyanyi, sekelompok asyik bercerita, sisanya beberapa bermain game online di gawai masing-masing.

"Huh." Menguap seraya terlambat menutupi mulutnya tanpa malu, Dasya melirik ke sampingnya. Sahabat terbaiknya sedang menjelma murid tauladan, selalu. Dasya sampai sering penasaran isi otak sahabatanya hingga tekun seperti itu. Benar-benar murid menikmati proses belajar. "Rell, catatan lo udah sampai mana? Masih banyak, gak?"

Rellya melirik dari ujung mata. Lalu lanjut menulis rangkuman bab di buku tulis miliknya. "Dikit lagi. Kenapa?"

"Gue liat, ya. Punya gue udah sampe setengah bab, gak sanggup lagi gue. Satu halaman isinya rumus semua, anjir."

Angguk saja, tuntas abaikan cengiran Dasya. "Boleh. Tapi catatan gue gak estetik ya, gak gue warna-warnai."

Meski Rellya termasuk murid pintar dan rajin, bukan berarti ia tak memiliki kekurangan. Jika teman-temannya yang lain bersedia mempercantik catatan mereka dengan tinta beragam warna dan jenisnya, selama ini Rellya cukup menggunakan satu jenis pena saja untuk apapun catatannya. Baginya, estetika penyajian catatan tak lebih penting daripada konten catatannya sendiri. Asalkan tulisannya jelas dan terbaca. Bagi Rellya, itu sudah bagus.

Keduanya terdiam. Dasya mulai sibuk streaming video klip terbaru dari grup idolanya asal negeri ginseng. Matanya berbinar cerah lantaran koneksi internet stabil dan itu sukses membuat video yang terputar tidak macet-macet. Di sisi meja lain, gerak tangan Rellya tempak tenang menyalin catatannya. Berniat merampungkannya dalam diam selagi wajahnya berekspresi separuh tak minat memandang bukunya. Seolah, isi kepala tak terkonsentrasi pada kegiatan yang tengah dikerjakannya.

Dan, sikap asing tersebut disadari Dasya semenjak beberapa hari terakhir. Walaupun mereka masih banyak bercerita dan tertawa, Dasya sesekali memergoki sorot kosong di binar redup Rellya. Jangan lupa, bibir getir mengembuskan napas tanpa sebab jelas. Seperti orang memiliki sesuatu berat dipendam sendirian.

Maka, detik berlalu, Dasya putuskan bertanya sebelumnya mematikan lebih dulu video di ponselnya. "Rell, lo ada masalah?"

Tersentak. Reaksi detail itu tak luput dari mata Dasya. Bagaimana gerak menulis itu terhenti, pulpen agak mengambang dari jejak baris catatan hampir rampung. Wajah Rellya lekas tersenyum sesaat Dasya hendak lebih jauh menyelisik rahasia tersembunyi di gurat ekspresinya. "Masalah? Engga, tuh."

FearsomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang