Rangkai XLII [Toreh Luka]

92 10 0
                                    

Sejatinya perasaan adalah fana. Sekalipun itu cinta yang luar biasa. Akan ada masa yang bersilih. Mengalihkan kesetiaan yang terurai perih. Kasih, kita sudah terlalu letih.

****

Seberapa pandai dia menyembunyikan emosinya, bisikan relung Farren tak menampik ingatan akan perkataan Deva di mobil yang kemudian disebutnya telah menjadi sebuah janji antara mereka terus membayangi pikirannya. Deva membuat kesepakatan sepihak, sebenarnya. Sebab sampai akhir sesi bicara, Farren sama sekali tak melempar kata setuju, justru berlalu begitu saja keluar mobil dan masuk ke rumah. Meninggalkan Deva yang masih duduk di kursi penumpang, berikan senyum licik tanpa diketahuinya.

Meski reaksinya tidak berlebihan—hanya datar—sepanjang Deva mengutarakan kesepakatan itu, tetap saja Farren cukup tercengang. Menyadari pola pikir Deva sejauh itu—jahatnya.

Rellya

Aku bentar lagi siap. Aku tunggu di teras aja, ya. Kamu berangkat? Hati-hati, ya, Farren.

Mengenyahkan kecamuk di pikirannya, sebaris isi pesan Rellya ajaib menghadirkan rasa nyaman secara mendadak. Sesudah kirimkan balasan singkat, Farren mematut refleksi dirinya di cermin kamarnya. Sudah lewat jam setengah tujuh. Malam ini sesuai janjinya ia akan menjemput Rellya ke rumahnya. Mengajak gadis itu ke suatu tempat yang telah direncanakan secara matang. Farren mengambil jam di atas meja kecil di depannya. Memakainya dengan gerakan tenang. Setelah itu, kembali menyugar rambut bagian depan yang melihatkan dahinya sekilas.

Wiguna dan Tiara sedang pergi makan malam bersama kolega bisnis mereka. Jadi, Farren tak perlu izin untuk keluar malam ini dan ditanya-tanya oleh Tiara yang memang selalu khawatir dan penasaran tentang kehidupan remajanya. Beranjak mengambil jaket yang tersampir di gantungan belakang pintu dan kunci motornya, Farren melangkah keluar kamar.

Namun, gerakannya berhenti di ambang pintu. Farren berbalik. Menjatuhkan pandang pada sebuah rubrik yang masih tersusun acak tergeletak di atas meja belajarnya. Dengan seutas senyum kecil terselip memori manis di kepalanya, Farren meraih benda kecil itu. Menyimpannya di saku jaket yang dikenakannya.

Saat keluar kamar, ia tak melihat presensi Deva. Mungkin, cowok itu sednag berada di kamar dan menenangkan diri, atau istirahat. Kehilangan seseorang yang menjadi alasan bertahan tidaklah mudah. Meski belum pernah mengalaminya—karena ia juga tak berharap begitu—Farren bisa mengerti perasaan cowok yang berstatus kakak tirinya itu.

Dikarenakan tak terlalu peduli, Farren pun mengangkat bahunya dan melanjutkan langkah. Sewaktu menjejaki anak tangga untuk turun mencapai pintu utama keluar rumah, posenlya berdering.

Kerutan di dahinya tercipta kala membaca nama kontak pada layar ponselnya. Ingin segera selesai, Farren mengangkat panggilan itu dengan sedikit enggan.

"Ha—halo? Farren?" Suara Canna yang lembut menyapa rungunya.

"Kenapa?"

"Gue—" Ada jeda terurai lama. Disusul deru napas terengah-engah. Canna seperti kepanikan di sana. "Gue takut, Farren...,"

Kedua tungkai jenjangnya spontan berhenti. Tangannya menggenggam ponsel di telinga menguat. Menangkap keanehan yang tidak bisa dilihatnya. "Lo kenapa?"

Satu isakan Canna terdengar. Canna menangis sambil terus bergumam menyebut namanya dengan pelafalan yang tidak jelas.

Tanpa melihatnya, Farren tahu gadis itu tremor. Bibirnya terbuka akan bertanya lebih jelas, sebelum suara lain terdengar di sambungan. Bukan suara Canna, melainkan suara lelaki.

FearsomeKde žijí příběhy. Začni objevovat