[Keping Dua : Realita Pahit]

71 8 0
                                    

Langit beranjak menggelap. Sang surya turun tahta digantikan rembulan. Meski begitu, kesibukan manusia tak surut barang sedikit, justru kian memuncak di penghujung hari nan panjang. Bunyi klakson kendaraan berulang kali memekikkan telinga seorang gadis yang duduk sendiri di halte itu. Menunggu transportasi umum yang bisa ia naiki agaknya susah. Sudah lewat sepuluh menit, tetapi transportasi sesuai alamat tempat tinggalnya belum kunjung terlihat di antara banyaknya kendaraan berlalu lalang di jalan raya yang terbentang di depan matanya.

Gadis itu Rellya.

Ia lagi-lagi menghela napas. Pandangannya kini merunduk. Memandang nanar kedua telapak tangannya yang saling bertaut di pangkuannya. Meremas tanpa sadar kala fakta-fakta baru yang didapatinya hari ini berjejalan menjelma kecamuk bagi dirinya.

Tentang keluarga Farren yang retak, ibunya yang sudah pulih dari koma, pun perempuan bernama Monalisa diakuinya sebagai pacar di depan dirinya. Semua itu terlalu tiba-tiba untuk Rellya. Rellya sudah terlanjur menaruh harapan besar bahwa hubungannya dengan Farren masih bisa diperbaiki. Namun, detik ketika Farren hanya menatapnya datar lantas mengalihkan pandang dengan mudah sebelum menggenggam lembut tangan Monalisa, saat itu juga harapannya padam bagai nyala lilin diterpa badai angin dalam satu waktu kesat. Padam. Gelap menyesakkan.

Suara klakson motor terdengar. Semula, Rellya mengabaikan. Berpikir itu berasal dari kendaraan yang tak sabaran dan ingin menyabotase area jalan. Namun, klakson itu kembali terdengar. Kali ini berbuntut panjang dan seperti dalam jarak darinya. Lamunan Rellya buyar begitu saja. Ia mendongak hanya berniat merutuki pemilik kendaraan tersebut. "Apa-" desisan Rellya lenyap, terbelalak melihat cowok yang menjadi alasan dirinya merasa terusik.

"Gak punya uang buat ongkos lo balik?" sembur Gafa tanpa awalan sopan dan ramah. Ia mendecak. Masih duduk nyaman di tunggangan motor besarnya yang terhenti di dekat Rellya.

Kelopak mata Rellya mengerjap, beberapa kali. Mengapa Gafa datang hanya untuk mencemoohnya?

Seolah tak peduli jika gadis itu mempertanyakan kedatangannya, ia mengedikkan dagunya ke jok belakang motornya yang kosong. "Naik. Gue antar pulang."

Lagi-lagi, Rellya dibuat terpekur. Bak orang bodoh, bibirnya menganga. Skeptis mendengar kalimat bernada ketus yang terucap dari Gafa. Seseorang yang pernah berpikir buruk tentangnya, bahkan sampai meminta bantuan Canna supaya ia menjauh dari Farren. Mustahil jika Gafa berlaku baik padanya seperti menawarkan tumpangan pulang, bukan?

"Ck. Lama banget, sih, lo jadi cewek," Gafa menghinanya tanpa perasaan, lalu ia melepas helm-nya, beranjak turun dari motor. Menghampiri Rellya yang maish duduk seraya lemparkan pandangan kebingunan untuknya.

"Eh-lo apaan, sih?!" Rellya agak spontan berteriak jengkel ketika tubuhnya diberdirikan paksa. Sikap bertahan ia kukuhkan. Menolak tarikan Gafa.

Gafa melepaskan Rellya. Keduanya berdiri berhadapan. Saling menggelincirkan makna tak suka lewat tatapan.

"Gue bisa naik angkot," cetus Rellya sembari membenahi tali tasnya yang tersampir di bahu. Mencoba menahan nadanya agar kentara membenci Gafa. Bukannya dendam, Rellya hanya belum melupakan bagaimana Gafa menyimpulkan dirinya seburuk itu padahal saat itu mereka baru pertama kali bertemu.

Ingatkan Gafa juga. Saat itu Rellya menolong Farren kabur dari jeratan anak buah Deva yang menyiksanya beberapa hari.

"Lo pikir ini di daerah sekolah dan rumah lo yang ada angkot? Di sini yang ada taksi atau bus. Dasar kolot,"

Rellya memejam sejenak. Berusaha memupuk kesabaran menghadapi tipe menyebalkan seperti Gafa.

"Jangan percaya diri lo, ya. Gue nawarin tumpangan karena kasihan aja sama lo." Gaga menyeringai lebar di detik Rellya balik menatapnya sarat kelelahan. "Dibuang Farren, kan, lo?"

FearsomeWhere stories live. Discover now