Rangkai LXIV : [Luruh Angkara]

55 7 2
                                    

Kita kehilangan untuk melepaskan. Sekadar merelakan jiwanya tetapi tidak untuk memorinya.

****


Maka kejadian Farren tak sadarkan diri dalam pelukannya sukses menjadikan Rellya berakhir di ruang tunggu depan Instalansi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit ternama usai satpam rumah Farren memutuskan membawa Farren menggunakan mobil keluarga yang sengaja ditinggalkan di garasi rumah. Dengan Rellya memangku kepala Farren yang direbahkan di jok belakang mobil biarkan pria dan wanita paruh baya yang sudah bekerja lama untuk keluarga Farren turut mengambil posisi di kursi depan. Raut wajah mereka tampak sangat khawatir melihat kondisi buruk Farren.

Kini, udara malam berembus di koridor rumah sakit menusuk kulit Rellya. Punggungnya bersandar di dinding cat putih di belakangnya, berulang kali edarkan netra karamelnya tak jenuh pada pintu IGD yang ditutup rapat. Bau obat-obatan khas rumah sakit begitu menyengat. Pun banyak pasien dan petugas medis berlalu lalang kesat di depannya tanpa bisa dicegat.

Kedua tangan Rellya bertaut di atas pangkuan. Merapalkan doa-doa keselamatan dalam benak. Suhu panas dari tubuh Farren masih menjejaki indera perabanya. Pun dalam perjalanan ke sini, wajah Farren tak henti berkeringat membuatnya tanpa enggan untuk setia menyeka peluh sosok yang sekalipun tampak tak nyaman dalam menghinggapi bunga tidurnya.

"Tunda dulu pertemuan dengan pihak akademisi malam ini. Saya tidak bisa datang karena anak saya masuk rumah sakit."

Kelopak memejam barang merehatkan kemelut emosi itu terjaga tatkala rungu diperdengarkan suara tegas wanita di dekatnya. Sejenak lupakan presensi sosok yang membersamainya semenjak berpuluh menit lalu. Tepatnya, gantikan pekerja rumah Farren yang pulang untuk menunggui di IGD.

Sementara wanita itu menutup koneksi teleponnya lalu simpan benda pipih nan canggih itu dalam tas kecil mahalnya. Ia berdiri di sisi pintu IGD. Kenakan blouse cream berkerah pita dipadukan celana kain hitam high waist. Setelan fashion wanita pekerja bukan sembarangan. Kerutan dahinya muncul saat bersinggungan tatap dengan gadis yang terduduk resah di hadapannya, "Kamu—Rellya? Murid rekomendasi saya untuk beasiswa perpindahan sekolah ke Madava?" ajuan itu diutarakan setengah ragu sebelum akal cerdasnya langsung paham mengenai alasan gadis itu semenjak awal ia mendatangi rumah sakit menuju IGD sudah ada dan terlihat menunggui keadaan Farren yang belum selesai ditangani dokter, "—kamu punya hubungan serius dengan Farren?"

Refleks luruskan sendi-sendi pegal di punggungnya, Rellya berikan senyum canggung sejenak untuk pikirkan jawaban pantas, "Bu-bukan, Bu—"

Kerut di alis Tiara luruh digantikan senyum lembutnya. "Panggil Tante Tiara saja. Saya—mama tirinya Farren."

Perkenalan diri sepihak itu terlalu santai. Ia masih mengingat gadis pendiam yang pernah membuatnya kagum dalam sekali pandang tatkala menyaksikan pembacaan musikalisasi puisi penuh penghayatan miliknya di panggung seni perlombaan SMA Madava tempo waktu lalu. Berpikir tidak perlu merahasiakan statusnya menyangkut Farren di depan gadis yang bahkan ia asumsikan telah memiliki jalinan istimewa dengan putranya. Mengingat Farren akhir-akhir ini selalu menolak kehadiran orang-orang untuk mendekatinya. Ya, selama ini tentu saja ia terus memantau kondisi Farren dari asistem rumah kepunyaan Wiguna.

Untuk memastikan Farren baik-baik saja kendati dirinya hanya bisa mengetahuinya dari jauh.

Kembali pada Rellya, gadis itu melipat bibirnya ke dalam, kian dilanda kikuk. Sebelum ia akan bersuara berikan balasan, Tiara menginterupsi lebih dulu. "Farren—kenapa bisa drop seperti ini—" Embuskan napas gusar, raut wajah panik keibuan miliknya tak bisa tertampik di sana, lantas ia berjalan sekadar mendudukkan diri di sebelah Rellya. "—saya pikir, setelah saya pergi, Farren tidak akan merasa tertekan lagi. T-tapi, ke-kenapa—"

FearsomeWhere stories live. Discover now