Rangkai XII [Jemputan Malaikat]

168 30 14
                                    

Tidak perlu menjadi sempurna untuk sebuah pujian jika secuil kesalahan bisa melontarkan banyak celaan.


****


Pukul delapan malam.

Hari yang melelahkan sehingga Farren tidak berniat lagi keluyuran malam kemanapun. Memutuskan langsung pulang ke rumah dalam perjalanan yang tidak cukup dikatakan dekat, setelah mengantar Rellya pulang ke rumahnya, ia melajukan motornya balik menuju rumah yang berada di kawasan perumahan elite tengah kota.

Sebenarnya bolak-balik melewati jarak yang tak begitu jauh bukanlah masalah. Namun jika dilakukan hari demi hari mungkin juga akan melelahkan fisiknya. Ini bukan masalah uang bensin, bahkan Farren bisa membeli perusahaan bensin-nya bila perlu.

Farren memarkirkan motornya di bagasi rumahnya. Ia beranjak memasuki rumah seraya mengemban tas sekolah di pundak kanannya setelah membalas senyum dari laki-laki paruh baya yang membukakannya gerbang. Badannya sangat lelah, rasanya ia akan langsung tidur tanpa mandi lagi saat sampai di kamar. Mungkin bermalasan untuk sekolah besok yang mengharuskannya bangun pagi.

Pintu cokelat tinggi itu dibuka. Lampu bercahaya keemasan menambah kesan kemegahan dalam ruangan nan luas itu. Farren berjalan melewati ruang tamu yang diisi perabotan mahal dan bernilai estetika yang tinggi itu.

Langkah kakinya berhenti, melihat dua sosok yang sedang duduk santai di sofa depan televisi ruang tengah. Pasangan yang berumur tak lagi yuwana itu tampak mesra, saling merangkul, sesekali tertawa karena lawakan salah satu acara yang sedang ditayangkan.

Menghela napas, remaja laki-laki itu akan melanjurkan langkah lagi, bersamaan suara bariton serasa menggema di ruangan besar itu. “Baru pulang, Farren? Duduk dulu, kami mau bicara.”

Seperti itu saja Farren sudah langsung mematuhi perintah papanya. Ia mendekat, memilih duduk di sofa tunggal saat wanita di samping papanya mematikan televisi melalui tombol pada remote.

Wanita yang tetap bertahan memiliki paras cantik itu lantas menatanya sarat kelembutan, “Lain kali jangan pulang malam, sayang. Gak baik, kamu masih sekolah, masih pelajar.”

Farren menatapnya setengah rasa malas, ia hanya berdeham menyahuti pesan wanita itu.

“Kamu masih belum mau cerita tentang penculikan kamu itu, Farren?”  Wiguna kemudian melontar tanya, tepat pada intinya langsung yang memang tidak menyukai basa-basi dalam dirinya ketika hendak menyelesaikan sesuatu.

“Pa, jangan mengesankan Farren cowok yang payah. Masalah itu udah selesai. Farren baik-baik aja.”

Garis wajah Wiguna yang berawal biasa saja mendadak jadi mengeras, seolah sedang menahan emosi yang tersimpan dan kini memuncak lantaran jawaban dari putra tunggalnya.

“Tapi kamu hilang kabar selama empat hari. Ditemukan Gafa malah langsung di bawa ke UGD dengan kondisi mengenaskan yang mungkin gak bisa tertolong para medis. Kamu aja dirawat di rumah sakit seminggu, Farren.” Tutur Wiguna dalam intonasi yang dipaksa tenang. Kediaman Farren justru kian mendidihkan amarahnya. “Dan kamu tidak mau bercerita siapa yang membuat kamu hampir mati?!! Apa perlu papa sewakan orang untuk mencari tahu dan mematai-matai kamu sekarang? Kamu kenapa, Farren? Tidakkah mengerti kalau papa dan mama sangat khawatir pada kamu?!”

“Mas,” tegur wanita disisinya sembari menggenggam kepala tangan sang suami yang takutnya akan kalap terbawa emosi. Tangannya yang lain mengusap-usap punggung pria-nya, menenangkan. “Jangan terlalu keras. Farren baru saja pulang, ia masih kelelahan.”

FearsomeWhere stories live. Discover now