Rangkai XXXVIII [Kurang Beruntung]

92 16 6
                                    

Hai, Kamu. Menangislah. Namun, jangan larut. Terkadang ada sesuatu yang terus dipendam, berakhir dengan sesak. Lepaskan. Dunia tidak seburuk itu.

*****

Kecelakaan itu terjadi saat dirinya belum genap berumur 16 tahun. Sejak kecil, ayahnya meninggal disebabkan penyakit jantung. Ayahnya bekerja sebagai pegawai negeri sipil di dinas tata kota tanpa signifikansi kenaikan jabatan yang besar. Selama 10 tahun, ayahnya berstatus pegawai biasa, ibunya hanya ibu rumah tangga, dengan Deva sebagai anak tunggal, gaji sang ayah lebih dari cukup menghidupi mereka, kendati sejak Deva berumur 5 tahun, ibu dari ayahnya hidup bersama mereka, ditanggung sang ayah. Menurut Deva, ayahnya adalah hero terbaik di hidupnya. Mamanya ialah peri penolong. Deva merasa bahagia, tanpa menuntut gelimang harta.

Namun, seolah Tuhan ingin mengujinya lebih awal, kejadian pahit itu terjadi. Ayahnya meninggal di umurnya 7 tahun, hidup mereka kesusahan karena ternyata gaji sang ayah telah habis digadai di bank dan baru terlunaskan dalam jangka 25 tahun ke depan. Ibunya mati-matian bekerja sebagai asisten rumah tangga. Menjelma tulang punggung bagi ia dan sang nenek. Peri penolong Deva bukannya mengusir mertuanya, justru dengan lapang hati tetap menerima sang nenek di tengah mereka yang sedang kesusahan.

Seolah belum cukup menyedihkan, Tuhan kembali merenggut nyawa orang kesayangannya di semesta. Ibunya menjadi korban naas ditabrak mobil yang melaju cepat dari ujung jalan beraspal, sementara ibunya ingin menyebrang menuju warung untuk membeli beras di rumah yang telah habis.

Mirisnya, saat ia melaporkan kasus kecelakaan itu ke kantor polisi guna menuntut keadilan untuk ibunya, justru pihak polisi mengatakan bahwa kasus yang terjadi tidak bisa ditindaklanjuti dikarenakan unsur ketidaksengajaan dan pengendara mobil juga mengalami luka yang seimbang parahnya dengan yang dialami ibunya sebagai korban. Pihak korban dan pelaku harus menyelesaikan masalah dengan jalan damai. Tanpa berpikir efek pahit yang diterima Deva di hidupnya.

Hari itu, psikis dan mentalnya dijatuhkan tanpa pegangan. Terpuruk. Pun isak tangis yang mengantar jasad ibunya ke peristarahatan terakhir masih membayanginya hingga saat ini. Beberapa bulan kemudian, neneknya mengalami sakit di bagian tulang belakang Akibat terpeleset saat bekerja mencuci baju di rumah orang secara diam-diam. Padahal, Deva sudah menasihati sang nenek agar diam di rumah saja selagi ia bekerja serabutan setelah pulang sekolah.

Hidupnya semenyedihkan itu. Namun, temunya dengan gadis yang mau mendengar kisah pilunya tanpa pamrih perlahan membuka cakrawala terang di pikirannya. Sesuatu baru yang bergairah menguap di hatinya. Perasaan putus asa dan menyerah pada hidup sirna. Gadis itu Rellya. Gadis yang membuatnya ingin meraih mimpinya dulu yang sempat terbenam tanpa jejak.

Deva ingin terus hidup dengan semakin baik tiap harinya. Ingin melihat sang nenek bahagia sampai akhir senjanya nanti. Setidaknya saat itu ia berharap bahwa ia sudah menjadi orang sukses dengan konsepnya sendiri.

"Masuk."

Deva membuka pintu yang diketuknya sekian detik lalu. Dirinya mendapat pesan dari Tiara bahwa seusai makan malam, Wiguna ingin bicara dengannya di ruang kerja pria berkarakter keras itu.

"Papa manggil saya?" Tidak peduli muka konyol dan lidah gatalnya yang belum kerasan menggunakan sapaan itu.

Wiguna duduk di kursi kerja kebesarannya. Di hadapannya, terberai banyak dokumen kertas yang menjadi tanggung jawabnya, dilengkapi laptop bermerk menyala sedang menjalankan program-program khusus.

Sekian detik, Deva hanya berdiri di seberang meja. Diam. Menunggu atensi Wiguna teralih padanya.

"Iya. Duduk, Deva. Papa mau bicara hal penting sama kamu," ujar pria berkemeja maroon yang melekat sempura di otot-otot tubuhnya.

FearsomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang