Rangkai XLIV [Puncak Semoga]

88 10 1
                                    

Sejatinya perasaan adalah fana. Sekalipun itu cinta yang luar biasa. Akan ada masa yang bersilih. Mengalihkan kesetiaan yang terurai perih. Kasih, kita sudah terlalu letih.

****

Usai pelukan erat dilalui lama dengan khidmat tanpa cakap dan gelagat, situasi canggung mendadak bersahabat kala rengkuhan itu sepakat diurai oleh kesadaran masing-masing.

Pelukan yang diterimanya secara ajaib mampu mengguyur kesesakan yang ia rasakan. Kala tangan Rellya malu-malu membalas dekapnya, Deva rasakan damai pertama kalinya, tepatnya sejak hari sang nenek pergi. Biarkan dunia menjelma naungan paling mengerikan—tempat luas berisi jutaan manusia yang membuat Deva merasakan kesendirian menyakitkan.

Mulanya berpikir, hidupnya telah sia-sia. Tiada orang yang menerimanya lagi. Satu per satu direnggut darinya. Kini, tak bersisa. Deva sendiri. Sesuatu yang dibencinya karena membuatnya semakin tak berguna meneruskan hidup.

Namun, kehangatan itu nyata. Pelukan itu tanpa disadari telah menarik jiwa yang semual ingin tenggelam dalam lautan nestapa tertarik oleh secercah sinar menjelma harapan baru di hidupnya. Bagaimana tulusnya kesedihan itu terpancar dari mata Rellya. Pun air mata gadis itu menggantikan dirinya yang sudah terlalu lelah menangis. Ia paham. Hidupnya tidak boleh terhenti oleh karena sekian banyak alasan baru untuk bertahan sedia menanti.

Maka, seolah tidak cukup hanya diobati oleh pelukan hangat, Deva meminta Rellya untuk pergi dengannya. Atas dalih menghibur diri dan butuh lebih banyak ruang mengobrol—alias bertukar cerita—Deva berhasil membuat Rellya setuju ikut dengannya setelah wajah sendunya dipertahankan dengan tujuan sedemikian rupa terancang di otaknya.

Sekarang. Di sinilah mereka. Sebuah taman kota nan luas dan ramai. Secara kebetulan sedang diadakan pertunjukan musik oleh sekelompok pemusik jalanan persis di titik pusat tengah taman kota. Semakin beranjak sore, orang-orang semakin banyak berdatangan. Mereka pun tak cepat bosan menyaksikan beberapa lagu yang telah dibawakan oleh kelompok pemusik yang terdiri dari enam orang. Dua orang sebagai vokalis, satu orang memegang piano, dua orang bermain gitar, dan satunya tampak piawai dengan biolanya. Pertunjukan yang sangat mengagumkan. Ditambah, sudah banyak orang yang menyumbang lewat kotak berukuran sedang yang ditaruh tak jauh di depan stand mic vokalis.

"Udah bosan?" Deva menoleh ke sisi kanannya. Mengamati wajah Rellya tampak masih antusias menonton aksi mengagumkan di depannya. Namun, dari observasi diam-diamnya sejak tadi lewat lirikan ujung mata, Deva menangkap gurat lelah di wajah manis itu.

"Lumayan, sih." Rellya menyahut tanpa berikan atensi penuh pada Deva. Buktinya kepalanya sesekali angguk, pertanda nikmati aransemen lagu yang didengar rungunya.

"Cari tempat duduk dulu, yuk."

"Eh?"

Rellya tersentak, begitu tolehkan kepala justru tangannya sudah ditarik Deva. Keluar dari kerumunan orang-orang yang membentuk setengah lingkaran. Pun Rellya baru tersadar jika penontonnya sebanyak itu sampai membentuk beberapa barisan. Ia pasrah membiarkan Deva menuntun langkahnya karena berdiri selama lebih dari setengah jam juga membuat otot-ototnya lelah diperintah bergerak dengan sendirinya.

Deva membawanya pada sebuah bangku panjang yang kosong. Persis di depannya terlihat air mancur menari. Pada tempat ini, orang-orang tidak tidak terlalu ramai sebab sedikit jauh untuk menjangkau stand makanan dan wahana permainan.

"Tunggu di sini, ya. Gue beli makanan dan minum dulu."

Rellya tak sempat menjawab, Deva sudah lebih dulu pergi meninggalkannya. Akhirnya, Rellya kembali mengatupkan bibirnya kembali. Duduk seraya luruskan kaki. Sesekali mengurut betisnya yang kaku sebab berdiri terlalu lama.

FearsomeWhere stories live. Discover now