Rangkai LXIII : [Pengakuan Kehilangan]

60 5 3
                                    

Sebab jasad manusia ditimbun tanah abadi. Tetapi, jalinan kisah afeksi fana senantiasa menguarkan wangi.

****


Satu bulan dua minggu setelahnya.

Tidak ada perubahan bermakna di alur kehidupan Rellya. Harinya berlalu monoton. Kini, ia mulai disibukkan jadwal ujian kenaikan kelas. Menambah intensitas belajarnya adalah fokusnya saat ini. Sewaktu istirahat sekolah, ia gunakan mengulang materi pelajaran atau membahas soal dari buku kumpulan soal yang dibawanya dari rumah. Pulang sekolah langsung ke rumah, pun Dasya mengatakan jika jadwal lesnya ditambah sehingga waktu bermain mereka benar-benar dikuras habis. Rellya mulai terbiasa dengan hidupnya yang kembali seperti semula—dimana dirinya akan melalui hari dengan belajar dan berdiam diri di rumah sekadar membantu mamanya terkait pekerjaan rumah dan menonton film-film luar bervariasi genre.

Untuk Farren, Rellya tidak mencari lagi. Tepatnya, ia bahkan sudah tak berniat mengusik atau mencoba penasaran terkait kabar sosok itu. Dirinya dan Farren sudah benar-benar berakhir. Dalam artian, Rellya harus menjalani kehidupannya dengan semakin baik, meski tanpa kehadiran sosok yang justru meninggalkan luka di hatinya. Mungkin, Rellya juga sebaiknya mengucapkan terima kasih pada Farren. Berkat Farren, dirinya merasa lebih kuat menghadapi kecewa, serta kian tangguh mengobati luka. Farren adalah bagian kisah atraktif menghiasi masa putih abu-abunya, mungkin. Rellya sekarang fokus membenahi diri. Meningkatkan prestasi dan nilai demi mengejar kesuksesan masuk perguruan tinggi negeri setahun mendatang.

Seperti sore hari ini—di saat Rellya tengah menekuni aktivitasnya di teras rumah didampingi langit lembayung cerah memesona. Hari ini Sabtu. Sekolah dipulangkan lebih awal sebab guru rapat mengenai persiapan jadwal ujian yang akan dilaksanakan minggu depan. Ia menggunakan waktu produktifnya untuk memantapkan pemahaman materi. Yang sekiranya tidak lama kemudian suasana kondusif itu diusik oleh sahutan melengking berasal dari dalam rumah.

"Kak, disuruh Mama beli tepung di warung, tuh!"

"Enggak bisa! Kakak lagi belajar tau! Kamu aja sana!" Teriakan Rellya dari teras rumah sembari membalik halaman buku tebal di pangkuannya. Sepenuhnya abai terhadap protesan yang samar masih didengarnya.

Tak lama, derap langkah menghentak berhenti tepat di samping kursi dudukannya, disusul gerutuan kesal kentara, "Anjir, belajar apaan itu masih sempat balas chat! Gue liat ya dari tadi lo megang hape."

Usai memastikan pesannya terkirim, Rellya mendongak. Menutup bukunya dengan ponsel tersimpan di halaman terakhir ia baca. Senyum kecil tak tanggal di bibirnya. Seolah baru saja terima pesan dari seseorang istimewa. "Apaan, sih! Omongannya gak sopan!"

Atta mendengus geli, elakan kakanya sungguh tidak relevan. "Dih, pipinya merah gitu. Serius belajar atau pacaran dari chat?"

"Pacaran sama siapa sih, Dek? Kakak kan udah putus—" Di ujung kata itu, lidahnya sejemang kelu. Tidak lanjutkan impulsif hati yang mengaitkan ucapan Atta pada satu nama terkubur dalam-dalam di pikirannya.

Melihat muka kakaknya berubah aneh, Atta sekadar paham jika sang kakak tidak ingin membahas nama yang ia ketahui benar telah melukai kakaknya dengan meninggalkan tanpa alasan yang jelas. Atta mencairkan suasana melalui gerakan tangan mengacak rambut sang kakak, "Hm. Atta beli pesanan mama dulu. Lanjut belajar aja,"

Diam-diam, senyum Rellya merekahkan lengkung sempurna. Adiknya berubah dewasa dan pengertian adalah sesuatu yang ia syukuri di dunia ini.

"Baik banget sih. Kakaknya siapa coba?" Melupakan kecanggungan detik lalu, Rellya menaik-turunkan alis, berniat menggoda Atta yang mulai mengeluarkan sepeda dari garasi kecil rumahnya.

FearsomeWhere stories live. Discover now