Rangkai XXIV [Ajak Kencan]

153 18 25
                                    

Sulit mengakhiri kisah yang bahkan sebenarnya tak pernah kita mulai. Terlalu egois untuk tetap bertahan. Pun rasa ini sudah terburai. Baik seluruhnya kubiarkan menjadi angan.

Rellya Drenaza.

*****

Penyesalan adalah hal yang paling awal di dunia ini. Banyak orang mengatakannya alih-alih pembelaan diri terhadap kesalahan yang dibuat sebagai bentuk karakter buruk di dirinya. Dibandingkan mengatasnamakan sesal sebagai upaya memperbaiki keadaan, bukankah mengubah keburukan sifat lebih menjamin bahagia karena kesalahan itu tak terulang lagi?

Sekiranya begitu pandangannya. Oleh karenanya, sejak hubungannya dengan Canna kandas setelah beberapa bulan, Farren enggan memperbesar masalahnya. Biarkan waktu berlalu menjadi proses hidup yang alurnya tidak diketahui pasti. Keputusannya bulat untuk menutup hatinya agar seorang yang sama dari masa lalu yang telah mengkhianatinya tak bisa masuk lagi ke ruang hatinya secara bebas dan tidak mengulang kesalahan yang sama.

Karena tentang khianat dan setia, itu adalah penyakit buruk yang tidak memiliki obat biologis, kecuali niat dalam lubuk hati memang untuk mengubah diri menjadi lebih baik.

"Gue pulang." Farren menyerahkan kunci mobil milik Canna yang masih berharap kebersamaan yang lebih lama.

"Gak mau mampir dulu?" tawar Canna lembut, basa-basi ketika Farren telah mengantarnya sampai halaman depan rumahnya yang besar. Merasa kecewa karena selama perjalanan, mereka tidak mengobrol sepatah katapun, Farren seolah membangun tembok tinggi di antara mereka.

Farren terdiam selagi matanya memandang luka di kaki kanan Canna. Ia berdeham, "Luka lo harus diobati." justru tidak sinkron dengan pertanyaan Canna sebelumnya.

Perkataan Farren yang bernada datar dan terkesan tak terlalu peduli itu justru diartikan lain bagi Canna yang berharap lebih.

Sembari membenamkan tangannya di saku celana, laki-laki yang mengemban tas sekolah dan baju seragam dikeluarkan itu berbalik, melangkah menuju gerbang rumah Canna yang menjulang tinggi. Mengenal pria paruh baya yang tersenyum padanya di pos jaga. Dulunya Farren sering berkunjung ke rumah ini hingga tak jarang pulang malam sebab kerasan.

"Farren," suara Canna menjedanya sejenak. Tanpa menoleh, diamnya seolah reaksi Canna agar menuntaskan omongan.

Canna menarik napas panjang, "Gue selalu ada buat lo. Gimanapun, dari semua orang, gue paling tahu kacaunya lo, Farren." Canna menepis bulir yang tiba-tiba menetes jatuh di pipinya. "Jadi jangan sungkan kalo lo lagi butuh sandaran."

Jika tangan Farren yang disimpan apik di sakunya kini mengepal, Canna justru merasa emosinya terguncang. Ada sesak melihat sikap Farren yang dingin, menjauhinya, tapi lebih dari itu, sandiwara baik-baik saja yang ditunjukkan Farren mengilukan hatinya yang belakangan ini memerhatikan perubahan orang yang disayanginya itu.

Farren mungkin berhasil menyembunyikannya dari orang lain. Tapi dengannya, Farren seolah menularkan rasa sakit itu di hatinya.

Ada kebanggaan kala ia melanjutkan kalimatnya. Fakta yang tak tertampik oleh keduanya.

"Bahkan cewek itu, dia gak tau sedikitpun tentang hidup lo. Jadi gak ada alasan buat lo gak lari selain ke gue,"

***

"Males, Atta lagi naikin peringkat biar platinum. Pergi sendiri, kan minimarketnya dekat dari rumah."

Kilasan kalimat menyebalkan dari sang adik masih diingatnya. Atta menolak saat ia meminta ditemani ke minimarket membeli beberapa cemilan dan isi tinta pulpennya yang habis. Alhasil, jam tujuh malam, dengan seorang diri karena adiknya itu maniak game tidak bisa diganggu, ia pergi berjalan kaki menuju minimarket yang berada tak jauh rumahnya. Terletak di pinggir jalan raya yang tidak seramai hiruk-pikuk suasana Sabtu Malam di kota.

FearsomeWhere stories live. Discover now