Rangkai XIV [Sebuah Tameng]

171 27 18
                                    

Votenya, siap?
Happy reading!

Terlalu kesat menuju akhir, hingga prosesnya begitu buta untuk dicermati

****


Perlombaan telah usai. Pemenang telah didapatkan. Satu per satu dan sebagian per gerombolan manusia yang berasal dari beragam sekolah di kota ini mulai membuarkan diri setelah tugas sebagai suporter pendukung sekolah mereka akhirnya kalah juga melawan posisi yang memang sudah berkuasa di bidang anggar.

Terkucuali anak-anak Madava yang masih merayakan kemenangan sekolahnya. Berkat Farren, Madava semakin harum daripada sekolah lain, siswa kebanggaan guru itu memang tidak pernah gagal membanggakan nama sekolah.

Setelah menyalami pelatih, guru Madava yang hadir mendampinginya serta menerima ucapan selamat dari anak OSIS terutama teman-teman akrabnya, Farren merasa harus memisahkan diri dari kerumunan anak Madava yang masih eksis befoto bersama untuk mengunggahnya di media sosial masing-masing. Tentunya, menuju seorang gadis yang tinggal duduk sendiri sambil menunduk di deretan kedua tribun dari bawah.

Semuanya tampak tak menyadari kehadiran gadis itu, beruntung bagi Farren yang memang tidak ingin miliknya diketahui banyak orang. Miliknya? Terdengar lucu.

"Farren, selamat, ya." Langkahnya terjeda ketika seorang cewek tinggi berbadan ideal menghalau di depannya. Mengulurkan tangan, mengajak Farren berjabat.

Namun dasarnya Farren tidak suka basa-basi, ia hanya membiarkan jari lentik nan putih Canna menggantung di udara.

Farren menggeser gerakannya ke sisi kiri, bersiap pergi sebelum tangan lain merangkul lengannya erat. "Farren, foto bareng, yuk. Gue masukin IG, biar lo dikira udah punya pacar dan cewek lain gak ganggu dekatin lo lagi," Ucap Rhea bernada genit diselip sindiran halus pada Canna yang berdiri dihadapan mereka.

Tangan Farren yang bebas memijit alisnya yang refleks berkerut menahan semburan emosi agar tidak keluar. Dirinya merasa risih lantaran Rhea menempelinya bak permen karet, gelayutan cewek itu di lengannya ingin sekali dihempaskannya kasar jika tidak mengingat suasana sekarang masih suana bergembira. Tidak sopan jika ia mengacau hanya karena tidak bisa menahan emosi, bukan?

"Lepas."

Satu kata Farren yang bersuara berat dan dalam itu tak ayal langsung membuat Rhea menjauhkan tangannya, melepas rangkulan.

"Jangan ikuti gue." Farren memperingatkan dengan tatapan tajam sembari melirik Canna, seolah berlaku untuknya pula. Setelah itu, Farren melenggangkan kaki menjauhi kedua primadona-nya Madava.

Sampai dua pasang mata itu mengamati langkah Farren tertuju ke mana, keduanya mengernyit disertai raut heran bak orang bodoh. Melihat jelas-jelas bahwa Farren kini berdiri dihadapan seorang gadis yang duduk sendiri di tribun. Presensi yang baru saja disadari mereka berdua.

Farren merendahkan tatapannya. "Kenapa gak ngampiri gue?"

Yang ditatap datar justru terlihat ragu-ragu menjawab cepat, seperti sedang menyusun kalimat yang sesusai. "Gue.., takut...," cicitnya, lirih.

Tapi Farren tetap mendengarnya. Ia mengernyit, "Kepala lo bisa sakit terlalu dongak."

Rellya menghembuskan napasnya berat, "Lo.., gak ada nyuruh gue berdiri, kan...," entah mengapa, bibirnya kesulitan bicara lancar hanya karena menyaksikan dari jauh interaksi Farren dan teman-temannya, gurunya, termasuk dua cewek tadi.

Seluruhnya, sangat jauh di atasnya. Membuat Rellya merasa rendah dan mengecilkan diri. Posisikan seperti ini, kamu merasa tidak pantas menerima sesuatu yang sangat lebih baik dari kamu, kamu tidak ada bandingan sejengkal apapun.

FearsomeWhere stories live. Discover now