Rangkai LIX : [Beranjak Pulih]

101 12 2
                                    

*sumber foto : pixabay.com

Tentang hatiku, terlalu kubiarkan kamu menempati. Sampai sulit rasanya terbiasa saat kamu pergi

*****

Gue suka sama lo--

Adalah kalimat paling mengejutkan yang diterima Rellya hari ini. Yang diucapkan dari seseorang akrab belakangan dengannya, tetapi jujur tak sampai dipikirkannya serius atas segala tindakan dan kata yang diperbuat sosok itu padanya.

Rellya menepuk pipinya ringan. Baru saja sampai di kamar, meletakkan tas dan mengganti seragam sekolahnya dengan baju santai rumahan. Maniknya mengerjap. Merasa linglung. Agaknya, memastikan rungu tidak salah tangkap perkataan Deva dari sambungan telepon yang sudah diakhiri sepihak oleh senior sekolahnya itu.

Oleh sepintas pikiran pendek, ia mendekati cermin berukuran setengah badan di sisi meja belajarnya. Berdiri di depan permukaan datar yang merefleksikan kembaran dirinya di sana.

Gue gak cantik. Gak putih, gak ramping, gak tinggi, gak pernah maskeran, gak jaga penampilan, gak mudah juga ngobrol sama orang baru kenal, lari pagi setahun sekali itu pun gak jamin. Tapi kenapa Kak Deva suka sama gue sih, anjir?! – adalah suara peri hati kecilnya yang tiba-tiba muncul tatkala pandangnya menelisik keseluruhan fisik tubuhnya dari atas sampai bawah.

Sebenarnya, kalimat Deva itu sudah dicurigai olehnya sejak Rellya sadar sering kali sorot mata Deva menatapnya beda makna. Bukannya terlalu percaya diri, ada sirat ketulusan dan keseriusan di mata Deva di momen tertentu yang sekejap kemudian diubahnya menjadi sorot biasa. Perlakuan Deva juga terkadang membuatnya merasa ganjal menginterpretasi arti tindakan cowok itu. Ia juga membaca literasi jika seseorang bercerita kisah hidupnya yang penting dan menyedihkan tetapi bersedia membaginya tanpa diminta, itu pertanda orang itu nyaman dan percaya dengan orang yang dibagikannya cerita.

Namun, Rellya cukup tahu diri. Ia berusaha mengelak hipotesis yang sebelumnya tidak terbukti benar. Tepat tatkala Deva mengutarakan perasaannya menjadikan Rellya kebingungan mengatasi hubungan antara ia dan seniornya itu kedepannya. Rellya belum bisa menjawab kepastian sebab sejauh ini, dirinya juga tengah menata hati yang berantakan.

Di sela pemikiran keras Rellya sampai keningnya mengerut, tak sadar pintu kamarnya dibuka oleh Hanin yang sontak kurang paham menemukan putrinya berdiri diam seraya memeloti cermin di hadapan.

"Kak—" Suara Hanin menyentak Rellya. "Ngapain? Lagi musuhan sama cermin?"

"Eh, Mama—" Tergesa-gesa membalik badan, Rellya menyengir kikuk bersama pikiran frustasi mengingat pengakuan Deva padanya buyar seketika. "—gak ada tuh. Liat aja kira-kira udah naik berapa timbangan,"

Hanin menggeleng-geleng, tersirat geli. "Tumben mikirin berat badan, biasanya makan terus gak masalah," komentarnya tatkala mengetahui sikap ganjil sang anak yang tak biasanya. Hanin tahu, Rellya tidak pernah terpikir diet sekalipun tubuhnya makin berisi. "Ke bawah yuk, ada yang mau papa sama mama bicarakan,"

"Tentang apa, Ma?"

Rellya mengernyit. Keluarganya itu termasuk tipe yang kaku dalam beberapa konteks, contohnya perayaan ulang tahun di antara mereka. Biasanya mengucap kalimat sederhana pun terlalu tidak biasa bagi mereka. Apalagi berbicara hal-hal lain. Mungkin kali ini, topik yang dibicarakan serius sampai Hanin mengajak mereka semua berkumpul.

Hanin tersenyum. "Nanti juga tahu kok."

Maka Rellya segera ikuti Hanin yang sudah lebih d beranjak dari ambang pintu kamarnya, lalu turun ke lantai bawah rumah minimalisnya. Begitu sampai di ruang keluarga yang tidak terlalu besar, sudah ada adik dan papanya duduk di sofa depan televisi. Rellya memilih posisi di sebelah Atta. Di sofa terpisah dari papa mereka.

FearsomeUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum