Rangkai VIII [Attharazka Deva]

185 32 19
                                    

Ada banyak dimensi yang tidak bisa dijelajahi manusia dengan pikiran sederhananya. Memerlukan keberanian yang jauh dikurung dalam ketakutan. Juga membutuhkan kemampuan di luar nalar yang sebenarnya telah dianugrahkan pada tiap makhluk fana.

Penulis.

*****


"Lo bisa liat dari CCTV-nya. Cewek yang bantu kabur Farren itu pakai seragam persis sekolah lo, Dev. Dari rekaman sore itu, cewek yang masuk ke gudang belakang bawa kunci ditangannya." Kata suara seorang lelaki yang tak lain adalah temannya, menginformasikan sesuatu yang dimintanya di seberang telepon.

Sementara cowok yang masih menggenggam telepon di telinganya itu bergeming, tak lama mengakhiri panggilan sebelum ia mengucapkan terima kasih. Pikirannya tak lepas dari rekaman CCTV yang dikirim temannya beberapa saat lalu, ia melihat dengan jelas. Seorang siswi perempuan yang berseragam Ganantra, mengingat siswi itu tak memakai jaket atau apapun guna menutupi seragamnya. Siswi itu memasuki toko musik Yudistira sekitar pukul empat sore lalu beranjak masuk ke gudang belakang di sudut toko yang merupakan tempat kurungan tawanannya yang berniat disiksanya hingga orang yang sangat dibencinya itu meregang nyawa bila perlu.

Yang menggeramkan adalah wajah siswi itu tak terlihat jelas dari rekaman. Entah keberuntungan atau memang siswi itu sudah lihai mengatur rencana menyelamatkan musuhnya sehingga di seluruh bagian CCTV tidak dapat menangkap wajahnya.

"Bangsat," desisnya rendah. Kakinya bergerak menendang tong sampah di sisi koridor, menimbulkan bunyi menggema di sepanjang lorong yang sepi. Tangannya mengepal, ia harus mencari tahu siswi Ganantra yang telah beraninya menolong kabur musuh yang sudah berada dalam kuasanya untuk menuju kemenangan yang telak. Dan semua itu berakhir gagal hanya karena orang yang menolong musuhnya tak lain berasal dari sekolahnya sendiri.

Ternyata benar yang dikatakan Farren dua hari lalu. Cowok itu tidak berbohong jika salah satu anak Ganantra mengkhianatinya. Perkataan yang dianggapnya sesat dan angin lalu, namun mengusik hatinya selama dua hari hingga memutuskan meminta temannya yang bekerja di toko musik yudistira untuk menyelidikinya langsung.

"Eh, Kak." Panggil seorang siswi dibelakangnya ketika ia beranjak dua langkah. Sontak Deva mengurung langkahnya lantas menoleh setengah minat.

Siswi itu mendekati Deva setelah tangannya terjulur meraih remukan kertas dari dalam tong sampah yang ditendangnya tadi, kertas kusut yang menyerupai bentuk bola. "Ini kenapa kertasnya dibuang, Kak?" tanya siswi itu.

Deva termenung sejenak, matanya agak menurun sebab tinggi siswi itu hanya sebatas dagunya, mengamati wajah dengan sepasang manik cokelat karamel yang bundar tak terasa asing dimatanya. Deva hanya diam tatkala siswi itu membuka remukan kertas. Mengikuti gerakan manik karamel yang membaca tulisan pada kertas ditangannya.

Kala matanya menangkap inti tulisan di kertas, cewek itu mendongak serta menatap Deva bingung. "Ini kan formulir jalur undangan kelas dua belas. Kakak gak mau coba?"

Kesadaran Deva kembali, ia berdeham pelan. "Bukan urusan lo," sahutnya ketus, menampilkan sikap aslinya yang tak bersahabat pada orang yang tidak dikenalnya dan baru pertama kali bertemu.

Sayangnya ini bukan temu pertama mereka. Deva mengingat dengan jelas insiden di depan toilet beberapa tempo hari lalu yang dirasanya geli jika mengulas lagi jawaban siswi yang terkesan terburu-buru saat itu.

FearsomeWhere stories live. Discover now