Rangkai XLIX : [Realita Pahit]

78 6 0
                                    

[Keping Satu : Realita Pahit]

Jika kau pergi, aku akan mencari. Entah kemana tujuan, kau senantiasa jelma rumah. Membawa ragaku pulang dengan rindu bersimbah. Inginku menetap di dekatmu meskipun memendam amarah.

****

Ketukan jemari pada permukaan meja kafe penanda seorang gadis sedang menunggu kedatangan seseorang. Gadis berkemeja longgar merah muda garis-garis dipadukan celana kulot hitam itu sesekali melirik arloji tangannya. Kepalanya dalam beberapa waktu ringkas menoleh ke arah pintu masuk kafe yang tidak terlalu ramai pengunjung. Dengan memilih meja di dekat jendela tak jauh dari akses pintu masuk, ia bisa mengamati siapapun orang-orang baru yang melewati pintu kaca tebal tersebut.

Ah, faktanya ia datang terlalu cepat dari janji temu yang mereka sepakati kemarin lewat pesan singkat.

"Hai, Rellya!" Seorang gadis tubuh semampai dengan penampilan menarik datang saat Rellya hendak menghidupkan layar ponselnya. Rellya sontak saja mendongak. Menemukan Elseya sudah menarik kursi di seberang meja di depannya.

"Hai-" Balasan sapa kikuk Rellya lontarkan bersamaan senyum konyol.

Elseya tersenyum manis. "Maaf, ya. Telat. Tadi di sekolah ada pensi terakhir dari kelas dua belas. Terus, sempat bingung sama alamat kafenya," Elseya mengamati sekitarnya, keadaan sederhana kafe yang pertama kali dikunjunginya. "Gue baru tau sih kafe ini, Rell."

Entah sebab tak miliki tanggapan bagus sedikitpun atas perkataan Elseya, Rellya hanya tertawa kecil. Tawa sumbang berlalu sejenak. Mungkin kesalahannya mengajak Elseya bertemu di luar sedangkan dirinya tak tahu rekomendasi tempat bagus karena ia jarang menghabiskan waktunya di tempat-tempat santai anak muda seumurannya.

"Lo udah pesan?" Elseya mengambil buku pesanan di atas meja, mengatakan pilihan menu minumannya ketika pelayan kafe datang.

Rellya hanya terdiam. Mengamati Elseya. Kekasih Altair itu terlihat sangat cantik dan manis. Wajah dan bentuk tubuhnya menciptakan perpaduan nyaris sempurna. Bahkan ia dapat merasakan lirikan pengunjung berjenis kelamin laki-laki di meja sekitar mereka melirik tertarik pada Elseya. Membuat dirinya merasa kecil. Tak pantas untuk hal itu.

Manusia, selalu melihat penampilan fisik.

"Rell?"

Tersentak dari renungan pengecilan diri, Rellya menatap Elseya. Cukup lama. Ada sekian pertanyaan tertahan di ujung lidahnya. Menjadi alasan utama mereka berjanji temu di kafe ini.

"Elseya, maaf kalau gue ganggu waktu lo. Tapi gue rasa, gue akan lebih puas kalau bicara langsung, bukan sebatas chat."

"Santai, Rell. Gue gak masalah, ya ampun. Justru gue seneng lo ngajak ketemu." Elseya tertawa. Mengibaskan tangannya. "Lo mau ngomong apa?"

Jeda terjadi. Sebagai pereda kebimbangan hati, Rellya meminum minumannya. Minuman itu telah dipesannya sejak ia tiba di Kafe Laksa. Berikutnya kedua tangan menggenggam sisi gelas dengan wajah ragu memandang lurus.

"Kalian masih sekolah? Maksud gue, bukannya anak kelas dua belas seharusnya ujian?"

Elseya mengangguk. "Jadwal SMA gue lebih cepat deh. Udah siap kemarin. Sebelum minggu tenang, mereka ngadain pensi."

Mendengarnya, Rellya membulatkan bibir. Pertanda mengerti. Kemudian, ada sensasi mendebarkan muncul ketika sebuah pertanyaan menjurus subjek keresahan hatinya sejak semalaman mendesak di pita suaranya. "Farren-dia datang?"

Elseya terdiam sebentar. Wajah riangnya tak pelak cukup terkejut Rellya menanyakan kabar Farren. Haruskah ia jujur jika ia melihat pagi tadi di parkiran SMA Madava, Farren sedang berbincang akrab dengan senior cantik yang terkenal di SMA-nya?

FearsomeWhere stories live. Discover now