6. Enam

102K 15.6K 439
                                    

Happy Reading❣️

Rival mengetuk pintu ruang BK lalu masuk sembari mengucapkan salam. Di dalam ruangan sudah ada Jordi yang babak belur. Rival memasang senyum tanpa dosa kepada Bu Ani---guru BK. Wanita setengah baya yang mempunyai wajah judes, dan selalu menyanggul rambutnya.

"Kamu lagi, kamu lagi," sinis Bu Ani sambil mengetukkan penggaris besi di meja berulang kali. Sorot mata tajam membius Rival. Tapi bocah itu malah cengengesan.

"Hehe ... iya, Bu. Saya lagi, langganan di sini."

"Rival!! Jangan mancing emosi saya!"

Rival diam lalu mengangguk.

"Kenapa kalian berantem?"

Jordi diam. Bibirnya luka, jadi susah untuk bicara.

"Rival, jawab!" bentak Bu Ani.

"Saya gabut, Bu. Ya 'kan Jor?" tanya Rival kepada Jordi untuk mendukung jawabannya. "Kita berantem karena sama-sama gabut. Aslinya mah berantemnya cuman becandaan."

Jika iya kenyataannya seperti itu, maka gabut Rival itu berbahaya sekali. Kenyataannya apa yang dikatakan Rival hanya dusta. Alasan mereka bertengkar karena ada kesalahpahaman sedikit. Jordi yang pertama menyerang jadi Rival melawan. Ya kali diserang nggak dilawan. Rival tidak sepengecut itu.

Bu Ani memijat pelipisnya pusing. "Berdiri di lapangan sambil hormat ke bendera sampai jam keenam dimulai!" titah Bu Ani tegas. Malas ia menceramahi Rival. Percuma, nanti masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

"Siap, Bu. Saya pamit."

Rival dan Jordi berbalik keluar menuju lapangan untuk menjalankan hukuman.

"Kita jauh-jauhan hormatnya. Males gue ketularan virus kalah lo."

Jordi melirik Rival sekilas. "Kita seimbang, ya, Sat!" Jordi ngegas. "Lo luka gue juga luka!"

"Lo kalah! Terima kenyataan dong!" Rival ikut ngegas.

"Sinting!" maki Jordi lalu hormat kepada bendera. Malas menanggapi bacotan Rival.

"Sinting teriak sinting!" balas Rival lalu ikut hormat kepada bendera. "Gue sinting aja masih ganteng. Apalagi waras, klepek-klepek semua kaum hawa, bahkan kaum Adam sekalipun."

Rival dengan kepedeannya yang overdosis.

****

Bel istirahat berbunyi. Cahya keluar kelas bersama Sasa menuju kantin untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Mereka berjalan sambil mengobrol hal tidak penting, membicarakan ketampanan Genta misalnya.

"Eh, itu cowok lo, Cay," tunjuk Sasa ke arah lapangan.

Cahya menoleh. Ia menahan tawanya melihat Rival dihukum seperti itu. Apalagi tubuhnya sudah banjir keringat.

"Gue samperin dia dulu, ya!" pamit Cahya tapi langsung dicegah Sasa.

"Eh, mau ngapain?"

"Ngetawain tuh orang lah. Sok-sokan jadi jagoan sih." Cahya menyengir. Melihat Rival tersiksa karena ulah cowok itu sendiri membuatnya bahagia.

"Bilang aja lo khawatir."

"Enggak ya, Sa! Gue mau bikin dia kesel. Bye!"

Cahya langsung kabur menuju lapangan. Semangatnya berkobar liat cowok tengil itu dihukum. Cahya tertawa jahat begitu sampai di samping Rival.

"Hey Rival, panas, ya?"

Rival melirik Cahya sekilas. "Menurut lo? Buta lo hah? Nggak bisa liat matahari tepat di atas kepala gue?!"

"Unch ... kasian banget. Udah kaya ikan asin, dijemur seharian. Mana tuh kulit berubah jadi item dekil lagi. Makin kalah jauh dong sama si Genta. Terlihat sekali perbedaannya, lo kaum kentank, si Genta kaum berlian."

Rival tak peduli dengan omongan Cahya, matanya fokus ke tangan cewek itu. Di sana sudah terdapat perban. Jadi benar, Kevin mengobatinya.

"Lo kalo ke sini cuman bacot doang mending pergi, Cay. Mulut gue lagi males ngladenin bacotan lo." Mendadak Rival ingin emosi. Entah karena apa.

Cahya tertawa pelan. Muka sangar Rival terlihat lucu. "Gue abis diobatin sama Kevin."

"Nggak peduli, nggak penting juga."

Sial. Niat Cahya membuat Rival cemburu gagal.

Mencoba beralih topik.

"Capek, ya?" Nada bicara Cahya memelan.

"Nggak usah sok peduli," sinis Rival.

Cewek itu malah tertawa. "Siapa yang peduli sama lo? Gue cuman tanya, lo cape nggak. Cuman buat pencitraan aja."

"Pergi atau gue banting?!"

Rival emosi. Dari tadi ia dibuat naik darah oleh cewek menyebalkan ini.

"Oke gue pergi. Bye Rival, selamat menikmati hukuman menyenangkan ini." Cahya kabur. Berlari sekencang mungkin meninggalkan Rival.

"Nama doang Cahya, tapi jiwanya diselimuti kegelapan!" maki Rival.

Lima belas menit berlalu. Rival masih setia menjalani hukumannya. Decakan terdengar dari mulut Rival, saat tahu Cahya kembali menghampirinya. Jelas saja cewek itu hanya ingin memancing emosi.

Di luar dugaan. Cahya mengelap keringat yang ada di dahi Rival dengan tisu yang cewek itu bawa. Rival tertegun sesaat. Matanya mengerjap tak percaya. Ini bukan mimpi 'kan?

"Ini minum," suruh Cahya sambil menyerahkan Aqua dingin.

Rival langsung menerimanya lalu meneguk Aqua itu hingga tandas dalam hitungan detik.

Cahya tersenyum manis. "Sekedar info, tuh minuman udah gue campur sama sianida."

Setelah mengatakan itu Cahya langsung kabur dengan tawa yang menggema. Rival menghela napas lelah. Lalu dengan sigap melempar botol Aqua ini ke arah Cahya. Jarak cewek itu dengannya tidak terlalu jauh, hingga Rival bisa begitu mudah melempar botol ini.

Tepat sasaran! Botol itu mengenai punggung Cahya. Kali ini giliran Rival yang tertawa keras. Sedangkan cewek itu bersungut-sungut mengerikan seperti banteng yang siap menerkam mangsanya.

"Botolnya peka banget haha. Tau aja dia mana yang berdosa. Rasain lo kena timpuk!"

"Liat aja lo nanti, gue bakal bales lebih parah!"

Rival merespon dengan mengedipkan satu matanya menggoda sambil bibirnya tersenyum smirk.

Cahya bergidik ngeri. "Bego banget gue bisa dapet pacar kaya gitu."

****

Thank u. Jangan lupa vote, komen, share cerita ini🎉
Semoga stay ya❣️
❣️

RIVAL (End) Revisi Where stories live. Discover now