64. Enam empat

72.9K 12K 1.1K
                                    


***

"Saya mautnya," ujar Bumi dingin.

Mampus!

"Hehe, Om ngelawaknya kaya psychopat deh," balas Rival takut-takut.

Bibirnya tersenyum kikuk ketika ketahuan mengobrol dengan Cahya bisik-bisik. Mana balasan Bumi membuat mentalnya down. Rival menyengir sok ganteng agar Bumi luluh.

"Mau sampe gigi kamu kering, saya nggak bakal luluh kali ini," beritahu Bumi datar. "Mau salto sampe ribuan kali pun, saya tetep nggak bakal luluh."

Bahu Rival meluruh lemas. Semua teman-temannya malah menahan tawa melihat penderitaan Rival.

"Ayo pulang," ajak Bumi sembari menautkan jemarinya ke tangan Cahya.

"Anterin Cahya ke dokter kulit dulu, Om. Darahnya sampe kering tuh. Sudut bibirnya robek gara-gara ditampar," pesan Rival membuat Bumi kembali menatapnya. Rival meringis melihat luka itu, pasti sangat sakit.

"Hm."

"Kalo perlu rawat sampe seminggu, ya." Rival berpesan lagi lalu mengajak teman-temannya pulang.

"Lo naik mobil gue aja, Gas," suruh Banyu agar Cahya tak kepanasan.

"Call me Bumi!"

Banyu mengangguk lalu menyerahkan kunci mobil Jeep-nya tapi tak diterima oleh Bumi.

"Lo sama anak gue. Biar gue aja yang naik motor," usul Bumi pada akhirnya. "Lo kan dokter. Obatin anak gue dulu."

Banyu mengangguk lalu mengajak Cahya naik mobil Jeep-nya. Bumi beralih menatap puluhan orang-orang yang sudah siap di atas motor, dikomando oleh Ellgar.

"Ah, rasanya kaya ngeliat diri sendiri," gumam Bumi ketika menatap Ellgar begitu gagah memimpin. Bumi langsung berjalan menuju motor hitamnya. Ia menaikinya lalu menyalakan kontak motor.

Sedetik kemudian, semuanya langsung mengikuti menyalakan motor. Deruman bersahut-sahutan. Bumi mengode Banyu untuk pergi dahulu. Setelah mobil Banyu pergi, mata tajam Bumi menatap puluhan orang-orang gabungan dari tiga sekolah. Tiga bendera berkibar begitu gagahnya, membuat Bumi lagi-lagi merindukan masa mudanya.

Bumi perlahan menjalankan motornya. Semua orang langsung membuntuti di belakangnya. Tidak ada yang berani menyalip. Deret panjang itu dipimpin oleh Bumi, mengendarai motor begitu gagahnya sendirian memimpin di depan.

Di balik helmnya, tanpa sadar Bumi menyunggingkan senyumnya. Karena sangat merindukan momen ini. Momen ketika ia menjadi ketua geng dan memimpin puluhan teman-temannya. Rasanya ... waktu begitu cepat berlalu.

****

"Kamu abis tawuran, ya?" Pertanyaan itu menyambut kepulangan Rival. Reynald berdiri bersidekap dada dengan wajah sok garang. Oh, jangan lupakan silet dan kartu ATM Rival yang dipegang oleh Reynald sebagai ancaman.

Rival sedang lelah, malas menjawab pertanyaan ayahnya, ia hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Wah, berani-beraninya!" sahut Reynald. "Mau Papa potong?!" Reynald mengancam dengan mengangkat kartu ATM.

"Potong aja gih, Pa. Nanti Rival minta sama kakek. Ribet amat." Rival berjalan melewati Reynald tapi kerah bajunya langsung ditarik dari arah belakang membuat Rival menghadap ayahnya lagi.

"Kenapa tawuran?"

"Cahya diculik."

"HAH?! CALON MAMA TIRI KAMU DICULIK? KOK BISA?" heboh Reynald bahkan sudah mengajak Rival duduk di sofa untuk mengobrol lebih jelas. Dengan entengnya mengatakan Cahya adalah calon mama tiri.

RIVAL (End) Revisi Where stories live. Discover now