41. Empat satu

74.5K 12.2K 880
                                    

Pagi-pagi sekali Cahya nongkrong di parkiran bersama Sasa. Tujuannya untuk bertemu Rival dan mendekatinya berhubung hukuman Rival masih berjalan. Tadi, ia berangkat duluan dengan Sasa. Setengah jam menunggu, Rival datang dengan gagah. Matanya berubah sinis ketika melihat ada cewek lain di belakang jok Ducati.

Cahya bertepuk tangan dengan senyuman sinis. Raut mukanya ia buat seperti nenek sihir yang jahat. "Hallo Rival. Bawa cewek mana lo?"

Saat membuka helm baru tahu, ternyata itu Sela. Raut Rival berubah was-was ketika disambut senyuman mengerikan oleh Cahya. Alarm berbahaya sudah berbunyi.

"Gue mungut Sela di pinggir jalan. Suwerr, Cay! Nggak boong." Rival menyengir sambil mengangkat tangannya peace. Jaraknya dengan Cahya sejauh lima meter. Sudah termasuk jauh kan? Iyalah!

"Sorry, Cay. Gue nebeng cowok lo. Jangan sinis gitu," jelas Sela lalu tersenyum.

"Oh, enggak. Gue biasa aja kok. Udah kebal sama tingkah ni orang." Cahya menoleh ke arah Sasa. "Yuk ke kelas."

"Cahya ...," panggil Rival pelan.

"Apa?" sentak Cahya.

"No ngambek-ngambek club yes!" bujuk Rival lalu tersenyum tipis.

Cahya mengabaikan perkataan Rival. Matanya menatap Sela menyelidik. Sebenarnya Cahya juga suka minder dengan cewek-cewek yang dekat dengan Rival, semuanya tergolong cantik, tak seperti dirinya yang bagaikan remahan rengginang.

"Gue duluan ke kelas, ya, Cay." Sela berpamitan sambil tersenyum. Matanya beralih menatap Rival. "Mau bareng nggak, Val?"

Rival menggeleng menolak. "Nggak deh. Nanti tambah kebakar cewek gue."

Sela langsung pergi meninggalkan Rival. Sasa yang dari tadi menyimak hanya diam saja, kali ini ia malas berbacot ria dengan Rival.

"Kok hening, sih?" ujar Rival tak nyaman dengan kebisuan ini.

Cahya diam saja. Ia lalu menyerahkan paper bag warna hitam ke tangan Rival yang tadi ia bawa dari rumah.

"Apa, nih? Perhatian banget lo." Rival jelas bahagia. Ia mengira pasti isinya makanan, Cahya kan suka membelikannya makanan.

"Dari Papa Bumi. Nggak tau isinya apa," kata Cahya dingin.

"Sangkyuuuu, Cahya. Bilangin ke Om Bumi juga ya, makasih udah ngasih gue hadiah."

Cahya mengangguk kaku. Matanya masih menatap sinis Rival. Raut mukanya bahkan memerah kesal, masih tak terima Rival berangkat dengan Sela.

"Gue kira jok Ducati lo cuman buat gue doang," gumam Cahya yang masih didengar Rival dan Sasa.

"Ini tentang simpati dan empati, Sayang. Dia minta nebeng, gue tebengin dong. Baik kan cowok lo?"

"Hm. Baiknya ke semua cewek cantik doang."

"ASTAGA LO CEMBUKOR YA?!" seru Rival dengan raut antusias.

Cahya memutar bola matanya malas.

"Ya lo mikirnya cuman sebatas simpati, kalo merekanya baper gimana? Cewek kalo dibaikin sama orang ganteng tuh pasti baper." Cahya menjelaskannya dengan kalimat sederhana agar Rival mudah mengerti.

"Dia juga meluk lo kan? Gue liat kok." Cahya tersenyum tabah. "Dan lo nggak nolak?"

"Cahya, lo tau kan kalo Ducati gue itu tinggi banget. Sela juga badannya kaya lidi dan gue naiknya ngebut. Kalo dia nggak pegangan, dia bakal terbang ngikut angin."

Penjelasan itu tak bisa diterima oleh Cahya. Kali ini saja ia akan terang-terangan memperlihatkan rasa cemburunya.

"Nanti-nanti gue nggak mau meluk lo. Males, bekasan Sela."

RIVAL (End) Revisi Where stories live. Discover now