24. Dua Empat

78.5K 12.6K 516
                                    

"Waduh!!" keluh Rival saat tahu ada mobil putih yang terparkir di garasi rumah Cahya. Rival jelas tahu mobil itu punya siapa. Keringatnya mengucur deras, hanya dengan melihat mobil itu membuatnya takut.

"Kenapa lo? Kok kaya orang kesurupan?" tanya Cahya penasaran lalu turun dari motor butut milik Rival sambil tangannya menenteng buket uang.

"Ortu lo pulang, ya?"

Cahya menoleh sebentar lalu mengangguk. Ia baru ingat, orang tuanya pulang hari ini.

"Gue langsung pulang, deh." Jika dengan Guntur ia masih berani. Tapi lain jika papanya Cahya yang bernama Bumi itu. Rautnya sangat menyeramkan ditambah dengan kumis tebal. Kata-katanya pun sebelas dua belas seperti Guntur, sangat pedas.

Cahya menahan tawanya. "Lo takut sama Papa gue, ya?"

"H-hah?! Enggak tuh. Ngapain takut." Rival mencoba biasa saja.

"Padahal Papa gue baik banget."

Pembohongan publik. Baik apaan, kalo gue dateng yang ada dihujat mulu.

"Jangan takut, Val. Papa gue cuman galak sama orang yang tingkahnya kek setan."

"Untung tingkah gue kek malaikat." Rival tersenyum bangga.

"Semerdeka lo aja, deh. Males gue ngomong."

Rival tersenyum manis lalu mengacak rambut Cahya gemas. Cahya cemberut, rambutnya jadi rusak.

"Rambut gue udah kusut karena lo ajak naik motor, sekarang malah lo acak-acak, tambah kek gembel gue!" omel Cahya sambil merapikan rambutnya kembali.

"Nggak ah. Menurut gue lo cantikan acak-acakan gini malah."

Demi apapun, Rival ingin setiap harinya Cahya berdandan seperti ini agar tidak ada cowok lain yang melihat Cahya lebih dari lima detik. Setiap melihat Cahya menjadi pusat perhatian cowok-cowok, Rival seperti kepanasan.

"Lo kapan pulang, deh? Gue mau masuk."

"Lo ngusir gue? Bukannya makasih udah dianterin pulang."

"Lah kan udah tugas lo jadi ojek pribadi gue. Kita pacaran kan simbiosis mutualisme."

"Enggak! Kayanya lebih ke simbiosis parasitisme. Perasaan yang rugi teros cuman gue."

"Mau pulang nggak?!" sentak Cahya sambil melotot. Ia malas debat.

Rival menggeleng tegas. Ia masih ingin memandang wajah Cahya lebih lama. "Gue mau di sini! Seenggaknya sampe dapet minum plus seperangkat makanan!" Pikirannya berubah. Entah karena apa ia jadi tak takut pada Bumi. Membuat jengkel Cahya adalah tujuannya.

"Ekhemm!!" Dehaman bernada bariton itu memberhentikan perdebatan keduanya. Mereka kompak menoleh ke sumber suara. Di sana, di depan pintu, ada Papa Cahya bernama Bumi memasang wajah garang.

Rasa takut itu muncul kembali. Rival menelan salivanya sendiri lalu mengusap tengkuknya salah tingkah. Bibirnya ia paksa tersenyum manis.

"Eh, apa kabar, Om?"

"I am fine."

Rival menyenggol Cahya agar mengartikan perkataan Bumi. Memang seperti itu, Bumi sering menggunakan bahasa Inggris agar membuat Rival merasa bingung.

"Kata Papa kabarnya baik. Lagian lo sih, makanya kalo pelajaran bahasa Inggris jangan molor!"

"Gue bisa bahasa Inggris dulu, tapi sekarang mendadak lupa."

"What are you doing here?"

"Ngapain kamu di sini," beritahu Cahya berperan sebagai google translate.

RIVAL (End) Revisi Where stories live. Discover now