50. Lima Puluh

74.5K 12K 1.6K
                                    

Happy reading ❤️
Bahagia selalu yaa...

"Enak nggak digituin? Makan tuh karma," omel Cahya. Sekali-kali ia akan memberi pelajaran kepada Rival.

"B aja." Rival menatap ke arah danau lagi lalu mengambil kerikil di bawah kursi. Dengan kekuatan penuh ia melemparkannya ke danau.

"Jangan dilempar," cegah Cahya. Ia takut kerikil itu akan merusak danau. Cahya tak rela jika danau ini tercemar.

"Daripada lo yang gue lempar?" balas Rival sadis. Ia masih emosi karena tadi dibuat baper lalu dijatuhkan.

"Ngapain, sih, lempar-lempar kerikil? Nggak ada manfaatnya."

"Buat nglampiasin emosi. Daripada gue lempar kerikil ini ke muka lo? Lebih baik ke danau kan?"

"Emang lo tega nglukain gue?"

"Nggak lah. Bisa modar gue, ditebas sama Om Bumi."

Cahya tersenyum simpul. Matanya menatap lekat Rival dari samping. Menyusuri wajah tampan lelaki itu. Alis tebal, lalu turun di bulu mata yang lentik, berlanjut di hidung yang mancung. Serta bibir tipis yang selalu mengeluarkan bacotan aneh. Cahya benar-benar baru menyadari bahwa Rival sangat tampan jika sedang kalem.

"Ganteng," gumam Cahya tanpa sadar.

Refleks Rival langsung menoleh dengan raut muka kaget. "LO MUJI GUE GANTENG?!" seru Rival dengan muka begitu antusias. Bahagia karena pertama kalinya Cahya memujinya.

"Ma-maksudnya tuh, danaunya yang ganteng," ucap Cahya gugup lalu tersenyum.

"Hem."

"Pulang yu?" ajak Cahya karena takut Papa Bumi mencarinya.

Rival menggeleng tegas. Setidaknya ia ingin sebentar berduaan dengan Cahya menikmati pemandangan indah ini.

"Lo masih marah sama gue, ya?" tanya Cahya hati-hati.

"Nggak. Ngapain marah. Biasa aja kali."

"Rival ih!" desis Cahya sambil melotot. "Lo nggak biasanya bisu gini."

"Gue ... nggak suka lo jadi model," ujar Rival kesekian kalinya dengan suara serak.

"Terus gue harus gimana? Ngundurin diri? Jangan egois jadi orang!" sentak Cahya. Darahnya mendidih emosi. Rival ini benar-benar kekanakan.

"Gue cuman nggak suka. Bukan nglarang lo." Rival lalu berdiri dari duduknya sambil satu tangannya merogoh saku celana untuk mengambil kunci motor.

"Ayo pulang," ajak Rival sambil memainkan kunci motornya. Sesekali ia melemparkannya ke atas lalu menangkapnya kembali.

Cahya mengangguk lalu ikut berdiri.

"Maafin gue ya," gumam Cahya lalu menggandeng tangan Rival.

"I'ts okay. No problem." Rival tersenyum menenangkan. Walaupun berat tetap saja ia tak boleh egois kan?

"Wah ... pake bahasa Inggris," kata Cahya kagum dicampur dengan nada meledek.

"Gara-gara ulah bapak lo tuh. Bisa-bisanya ngasih gue kamus yang tebelnya bukan main. Kejang-kejang gue bacanya."

"Gitu-gitu calon mertua lo. Yang sopan!"

Rival menetralkan napasnya sekaligus jantungnya. Perkataan Cahya damagenya bukan main bagi hati Rival. Calon mertua? Itu artinya Cahya bersedia menjadi istrinya.

Mamaaa... Rival mau nikahin nih cewek, batin Rival.

****

Reynald memasuki rumahnya dengan langkah tegap, matanya sambil melihat-lihat segala sisi rumah yang baru ia beli satu tahun belakangan. Rumah seharga milyaran ini begitu sederhana menurutnya.

RIVAL (End) Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang