36. Tiga Enam

74.4K 12.6K 1.2K
                                    

Setelah mendapat anggukan persetujuan oleh Ellgar, Rival langsung berlari masuk ke rumah Sasa. Napasnya tercekat begitu melihat mata sembab Cahya, raut sedih cewek itu membuat dadanya sesak. Rasa bersalah terus menghantamnya begitu hebat. Perlahan, ia mendekat dengan langkah pelan.

"Hey, muka lo jangan gitu. Kaya muka-muka orang yang kelilit utang," canda Cahya begitu melihat muka masam Rival.

Hal itu membuat Rival merasa bersalah lagi. Ia mendekat sampai tepat di hadapan Cahya. Tangannya kemudian menangkup pipi Cahya hati-hati. Raut kekhawatiran begitu terlihat jelas di mimik muka Rival.

"Tangan lo dingin banget," komentar Cahya lalu tersenyum paksa.

Memang. Bahkan tadi tangan Rival bergetar. Ini pertama kali dalam hidupnya melihat Cahya menangis, dan itu karena kebodohannya dalam menjaga.

"Mana yang sakit hm?" tanya Rival lembut. Matanya menyusuri wajah cantik Cahya dari dekat, untuk memastikan tidak ada yang luka.

"Nggak ada. Gue seneng banget lo dateng hehe. Jagoan gue pada dateng semua tanpa gue kasih tau," oceh Cahya sambil menatap orang-orang di sana satu persatu.

Rival tak menghiraukannya. Ia fokus menatap wajah cantik ini. Mata Rival menyelidik begitu dalam. Seketika ia kaget ketika melihat ada yang berbeda. Perbedaan itu terletak di antara pipi kanan dan kiri Cahya, pipi kanan terlihat lebih memerah dan agak lebam.

Dia tak bodoh dalam memahami ini. Itu artinya ada yang menampar pipi mulus Cahya. Seketika amarahnya berapi-api. Tanpa sadar kilat amarah terlihat di mata Rival.

"Siapa yang nampar lo?!" desis Rival terlihat menyeramkan, tak seperti biasanya. Semua kaget mendengar itu, kecuali Sasa yang memang sudah tahu.

"Siapa?!" desak Rival yang sudah tak bisa mengontrol emosinya. Bahkan Ellgar ikut maju ke arah Cahya.

Cahya gelagapan ditatap intens oleh abangnya dan Rival.

"Lo ditampar?" interogasi Ellgar.

Cahya diam saja membuat semua orang menatap Sasa untuk meminta penjelasan.

Sasa bingung harus menjawab apa. Akhirnya, ia mengangguk pelan.

"Bangsat!!" umpat semua laki-laki yang ada di sana. Bahkan Ellgar sudah mulai meninju tembok untuk melampiaskan emosinya.

"Maaf ...," lirih Rival penuh penyesalan. "Gue lalai jaga lo."

Cahya tertegun sesaat lalu mengangguk kecil.

Kepalanya menoleh kaget melihat abangnya seperti kesetanan meninju tembok. Dengan gesit ia mencegah Ellgar untuk tidak mengamuk lagi.

"Abang udah. Cahya nggak bisa liat Abang kaya gini," mohon Cahya yang sudah ingin menangis lagi. Ellgar berhenti lalu kembali memeluk Cahya erat sembari mulutnya terus-terusan menggumamkan kata maaf.

"Nggak pa-pa, Bang. Cahya kurang gesit nangkis aja."

Ellgar melepaskan pelukannya lalu mengusap lembut pipi Cahya menggunakan jarinya. Dilanjut dengan kecupan hangat dari bibir Ellgar di kening cewek itu, lalu turun ke pipi kanan dan kiri. Terakhir di hidung, interaksi romantis kakak adik di saksikan semua orang. Mereka tidak menyangka, ketua geng yang di luar dikenal sebagai sosok paling garang bisa selembut ini memperlakukan wanita.

Rival yang melihat itu hanya menahan amarahnya. Ada rasa cemburu sedikit melihat interaksi romantis itu.

"Maafin Abang," gumam Ellgar yang diangguki cepat oleh Cahya.

"Bukan salah Abang."

Rival berdeham hingga membuat semua orang memusatkan perhatiannya kepadanya.

"Ellgar ... gue boleh peluk adek lo? Setelah meluk dia, lo boleh ngehajar gue sepuas lo, lo bahkan boleh nglampiasin segala emosi lo ke gue. Tapi tolong ijinin gue buat meluk dia," izin Rival dengan keberaniannya. Jika tak ada Ellgar, sudah dari tadi ia memeluk tubuh mungil Cahya.

RIVAL (End) Revisi Where stories live. Discover now