62. Enam Dua

75.3K 12.2K 1.7K
                                    


****


"Don't cry my princess. I'm here," bisik Bumi dengan suara serak. "Kamu aman, Sayang."

Bumi berkali-kali menyalahkan dirinya sendiri yang lalai dalam menjaga. Melihat anaknya menangis seperti ini membuat hatinya tersayat. Tangan kekar Bumi memeluk Cahya erat sambil terus-terusan mencium puncak kepalanya. Sesekali ia juga menggumamkan kata maaf.

"Maaf," bisik Bumi sambil satu tangannya mengelus punggung Cahya menenangkan.

Bukannya berhenti, tangisan Cahya malah bertambah parah. Tangisan yang terdengar begitu pilu, seperti sangat kesakitan. Bulir-bulir air matanya bercucuran, tangisannya tergugu membuat lagi-lagi Bumi merasa begitu bodoh karena tidak bisa melindungi anaknya.

"Papa harus gimana lagi? Cahya maunya apa hm?" tawar Bumi. "Papa bunuh Lionel sekarang?"

Cahya menggeleng dalam pelukan Bumi. Tangisannya mereda lalu melepaskan pelukannya. Kedua ayah dan anak itu bertatapan intens. Cahya terpana melihat mata biru safir ayahnya yang sangat indah sekaligus membius.

Tangan Bumi langsung bergerak mengusap air mata Cahya menghapusnya dengan penuh kelembutan. Setelah itu, juga merapikan rambut Cahya yang berantakan.

"Papa ...." Cahya memanggil sedikit merengek.

"Apa, Sayang?"

"Papa kok keren banget tadi."

Bumi menghela napasnya pelan. Tak menjawab pertanyaan dari anaknya, malah mengambil kedua tangan Cahya untuk digenggam. Bermaksud untuk menyalurkan kekuatan.

"Tangannya luka," gumam Bumi melihat pergelangan tangan Cahya yang memerah karena bekas ikatan tali.

Bumi membawa tangan itu ke depan wajahnya, lalu langsung bergerak meniupnya pelan, sangat telaten. Setelah puas meniup, ia mengelus bekas memerah itu dengan jarinya lembut.

"Dah sembuh." Bumi tersenyum tipis.

Cahya mengangguk. Rasa sakitnya sudah hilang. Perlakuan ayahnya selalu membuat hatinya tenang.

Bumi menangkup kedua pipi Cahya menggunakan tangan beruratnya. Memandangnya dengan tatapan begitu teduh, juga menyusuri setiap inci wajah cantik ini.

"Cantik ...." Bumi memuji. Lalu mencium kening Cahya penuh kasih sayang dilanjut kecupan di pipi kanan dan kiri bergantian. Kegiatan yang selalu Bumi suka sejak ketika Cahya masih bayi.

"Pipinya kaya mochi hm," ujar Bumi sebelum melanjutkan kecupannya di dagu Cahya. Terakhir, Bumi mencium pucuk hidung Cahya lalu menggeseknya pelan. Kedua hidung mancung itu saling terbentur.

"Papa geli ...." Cahya terkekeh.

Bumi menjauhkan wajahnya. "Tapi Papa suka cium kamu sama mama kamu."

Cahya merespons dengan tawa kecil. Bumi kembali fokus menatap luka di sudut bibir Cahya. Mendadak emosinya meluap melihat itu. Ia tak terima anaknya dilukai sampai seperti ini.

"Papa mau ke sana." Bumi menunjuk ke orang-orang yang sedang bertengkar.

"Kamu ikut Papa. Pegang tangan Papa okey?" Bumi mengulurkan tangannya tapi tak disambut baik oleh Cahya karena masih sedikit ragu.

RIVAL (End) Revisi Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz