22. Dua Dua

85.8K 13.1K 869
                                    

Keringat dingin mengucur di pelipis Rival. Malam ini ia sedang duduk di sofa seperti nara pidana. Detik-detik akan ditatar dan diwawancarai oleh Reynald, kenapa bisa ada plester di jidatnya. Papanya itu mengerikan sekali, menatapnya dengan tatapan tajam serta tangannya memegang silet.

"Rival!"

"Dalem, Pa." Rival tersenyum manis mencoba untuk meluluhkan papanya.

"Nggak usah senyum. Senyummu itu nambah pahit kehidupan aja."

Mental Rival breakdance mendengar itu. Ini saja, belum mamanya turun tangan, jika mamanya sampai turun tangan, habislah segala kartu ATM nya dan baju-bajunya, bahkan handphone sekalipun.

"Kenapa bisa ada luka di jidatmu?" interogasi Reynald.

"Anu, Pa. Kejedot pintu."

"Kamu bohong, silet ini siap memotong-motong segala kartu kehidupanmu," ancam Reynald.

Rival cemas sendiri mendengar itu. Sudah muka gembel, tambah gembel dia nanti jika tidak ketolong dengan kartunya.

"Kamu bolos kan tadi?" tanya Reynald sekali lagi. Ia punya koneksi yang bisa mengawasi segala gerak-gerik Rival. Jadi mudah mengetahui apa yang dilakukan anaknya.

Rival mengangguk kaku.

"Kenapa bolos? Udah pinter kamu?"

Rival menggeleng.

"Ngapain kamu tadi?"

"Balap liar." Rival memilih jujur daripada segala keuangannya dicabut karena berbohong.

"Tau gitu Papa jual aja Ducatimu. Terus lukamu itu kenapa?"

"Main kungfu."

"Rival!"

"Gelud, Pa. Kena lemparan batu pas tawuran." Tadi, ia balap menggantikan Guntur, menang tapi pihak lawan tidak terima. Alhasil menyebabkan tawuran.

"Malu-maluin. Tawuran pake batu," sinis Reynald.

Dahi Rival mengernyit. "Emang Papa kalo tawuran dulu pake apa?"

"Papa dulu tawuran pake adu kekayaan. Lempar-lemparan duit segepok biar keliatan berkelas."

Rival menganga lebar. Ayahnya ini anti-mainstream. Ia juga tak tahu kenapa bisa mempunyai ayah yang sombong akan kekayaan. Tapi memang muka Reynald itu muka-muka yang pantas jadi Sultan, tidak seperti dirinya yang melenceng jauh. Bahkan Reynald tinggi badannya pun juga atletis.

"Ah, masa? Papa menang atau kalah?"

"Apa itu kalah? Nggak ada kata kalah di kamus hidup Papa. Bahkan luka pas tawuran pun nggak pernah. Paling-paling cuman pusing, penyakit Papa yang masih awet sampe saat ini," oceh Reynald menyombong.

"Pusing kenapa? Perasaan hidup Papa enak-enak aja. Minusnya cuman punya anak yang bandelnya minta ampun."

"Papa pusing gimana cara ngabisin duit."

Rival menghela napas pasrah. Malas berdebat dengan Papanya ini.

"Hukuman kamu, nggak jadi beli mobil, Ducati juga Papa sita. Kamu pake motor butut lagi," putus Reynald. Setiap berbuat kesalahan, anaknya harus diberi pelajaran agar tidak mengulanginya lagi.

Bahu Rival meluruh kecewa. Aset yang mendukung kemewahannya dicabut. Alamat, ia akan mendapatkan hinaan lagi dari teman-temannya bahkan juga Cahya.

"Yah ... Papa."

"Mau Papa aduin ke mamah Killa?" tawar Reynald terus terkekeh.

"Jangan, Pa." Demi apapun, Rival lebih rela diambil asetnya daripada mendengarkan amukan mamah Killa. Madam satu itu mengerikan jika sudah mengeluarkan tanduknya.

RIVAL (End) Revisi Where stories live. Discover now