34. Tiga Empat

77.2K 12.3K 522
                                    

"Rival ... gue mau peluk lo. Boleh?" izin Cahya akhirnya. Ia tak mengutamakan gengsi lagi. Penuturan Rival membuat hatinya senang bukan main.

Rival menggeleng tegas. "Nggak boleh!"

Bahu Cahya meluruh kecewa, sudah mengalahkan rasa gengsinya tapi ditolak mentah-mentah.

"Mau peluk gue harus bayar sejuta!" ucap Rival mengajukan syarat seperti yang selalu dibilang Cahya. Kedua alis cowok itu naik-turun menggoda.

"Lebih baik gue peluk pohon dah." Cahya cemberut. Sedangkan Rival cengar-cengir. Sejujurnya Rival tak menolak untuk dipeluk, tapi ini masih wilayah sekolah, dan juga ia takut akan kemarahan Guntur. Abang Cahya itu sangat posesif. Belum lagi Bumi jika tahu, dipastikan ia akan ditatar lagi seperti nara pidana.

Rival menepuk pucuk kepala Cahya dua kali pelan, seperti sedang menenangkan anak kecil. "Guntur bakal marah kalo tau kita pelukan."

"Kan dia di sekolahnya nggak ada di sini, jadi nggak bakal tau."

"Ngebet banget lo mau peluk gue hm?"

"Ngga jadi deh." Cahya bangkit dari duduknya berniat pergi. Tangannya menenteng kotak bekal dan botol minuman. "Mau ke kelas dulu. Jangan temuin gue nanti. Bye!"

Tangan Cahya dicekal oleh Rival. "Taro dulu tuh kotak sama botolnya."

"Apa, sih?!" sentak Cahya. Ia sebal bukan main dengan Rival.

Rival yang tak tahan langsung menyerobot kotak bekal dan botol minuman dari tangan Cahya lalu menaruhnya di atas meja. Ia kemudian berdiri, menatap Cahya penuh intimidasi.

"Ngambek lo, ya?"

"Menurut anda?"

"Cuman gara-gara gue nolak peluk?" tebak Rival tepat sasaran.

"Mau ke kelas." Cahya mengalihkan pembicaraan. Ia tak ingin membahasa lebih jauh lagi. Tadi juga ia terlalu baper sehingga minta peluk.

"Nanti. Jawab gue dulu." Rival menangkup pipi Cahya. Pandangannya ia buat setulus mungkin.

"Mau ke kelas." Tetap jawaban itu yang keluar dari mulut Cahya. Rival yang sebal langsung mencubit pipi Cahya gregetan.

"Udah sono ke kelas!" usir Rival. "Hushhh ...."

Cahya mengangguk, wajahnya terlihat masam.

Rival akhirnya berubah pikiran ketika melihat raut Cahya. Dengan mengurangi rasa gengsinya. Rival menggenggam tangan Cahya paksa lalu menariknya ke dalam pelukan. Kemudian, tangannya mengelus rambut dan punggung Cahya lembut, rasanya sangat menenangkan.

Rival memeluknya erat, seakan ini momen langka. Memang langka, sih. Jarang-jarang Cahya meminta pelukan darinya.

"Nggak pa-pa deh gue dapet bogem dari Gledek demi lo," bisik Rival di telinga Cahya.

"Ditebas pedang sama Papa Bumi juga nggak pa-pa deh, yang penting bisa meluk lo biar nggak ngambek lagi," lanjut Rival membuat Cahya terkekeh di dalam pelukannya.

Ketiga teman Rival yang baru saja datang. Mereka menyaksikan pemandangan romantis dan mendengar pembicaraan itu sontak mengumpat dalam hati.

"Kita kayanya emang ditakdirin cuman jadi saksi bisu keuwuan orang lain deh," gumam Gilang lalu menyender di daun pintu. Akhir-akhir ini, mereka selalu menjadi orang ketiga dari couple aneh itu.

Lego menatap dingin Rival dan Cahya yang masih saja pelukan, sesekali bahkan mereka tertawa. Terlihat sangat bahagia, tidak peduli ada tiga manusia yang mengenaskan menyaksikan itu.

"Hm. Kayanya kita emang ditakdirin cuman jadi butiran debu kalo ada di sekitar mereka," sahut Lego.

"Lo berdua. Gue nggak." Genta angkat bicara.

RIVAL (End) Revisi Where stories live. Discover now