40. Empat Puluh

75.5K 12.4K 1.1K
                                    

Rival menggulung lengan kemeja hitamnya sampai ke siku untuk menambah kerapian. Rambutnya juga sudah ia tata sebagus mungkin, wanginya juga sudah semerbak. Hanya mentalnya yang belum siap.

Hari ini ia sedang di depan pintu rumah Cahya sambil menenteng paper bag berwarna hitam. Niatnya ke sini untuk membujuk Bumi agar menghilangkan hukumannya.

Rival tak sanggup berlama-lama menjauh dari Cahya, sudah empat hari setelah kejadian itu ia menjauh. Dan hidupnya terasa hampa.

Rival menarik napasnya dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Mengumpulkan keberaniannya untuk menghadap Bumi. Rival harus bertingkah santai jika melihat pedang Bumi, agar terlihat seperti lelaki gentle.

Pintu terbuka, padahal ia belum mengetuknya. Rival langsung gugup begitu melihat wajah garang Bumi.

Dengan gesit Rival langsung mencium tangan Bumi sopan. Ini yang selalu diajarkan Mama Killa kepada orang yang lebih tua. Kalau Papanya mana mungkin mengajarinya seperti ini? Mentok-mentok ngajarin cara supaya menghabiskan uang. Papa sultannya itu memang no have akhlak.

"Hey, Om! How are you?" sapa Rival sok Inggris. Tadi ia sudah berlatih berbicara bahasa Inggris yang baik dan benar.

"Fine."

"Ehehehe ... pake bahasa Indonesia aja ya, Om? Biar mencerminkan bahwa kita cinta Indonesia," bujuk Rival karena lupa apa yang harus diomongkan lagi.

"Ngomong aja nggak bisa bahasa Inggris," balas Bumi pedas.

Set dah. Pasti habis makan cabe nih, makanya omongannya pedes, batin Rival.

"Itu Om tau." Rival menyengir.

"Gitu kok mau nikahin Cahya. Minimal pinter bahasa Inggris biar kalo diajak ke luar negeri nggak malu-maluin."

Rival berusaha bersabar lagi. Dia sebenarnya sering bolak-balik keluar negeri, tapi memang ada translator sendiri untuk Rival. Biasa, tipe-tipe orang kaya tapi bodoh.

"Siap, Om. Nanti aku belajar beberapa bahasa deh. Bahasa kalbu juga bakal Rival pelajari."

"Hm. Ngapain ke sini?"

Rival berdeham mengode Bumi untuk menyuruhnya masuk ke dalam. Kan tidak enak jika mengobrol di depan pintu.

"Masuk."

Bumi masuk ke dalam lalu duduk di sofa diikuti Rival. Keduanya duduk saling berhadapan. Mata Rival menyipit saat tahu ada dua gelas bekas di atas meja, artinya ada yang habis ke rumah ini.

"Kevin tadi nemuin Cahya," ujar Bumi menjelaskan rasa penasaran Rival.

Mendadak suasana panas, Rival terbakar rasa api cemburu. Ada perasaan tidak enak saat tahu Kevin ke sini. Cahya juga tidak bilang dengannya di chat ataupun telepon.

"Kevin nggak masuk di list calon mantu saya."

Perkataan Bumi itu mendinginkan Rival. Bernapas lega lalu mengulum senyumnya. Kebahagiaannya membuncah saat tahu secara tidak langsung Bumi mendukungnya.

"Telingamu kok merah?" tanya bumi penasaran. Tiba-tiba telinga Rival menjadi merah. Apalagi Rival seperti orang kesurupan tiba-tiba tersenyum aneh.

Ini namanya salting, Om. Yaelah, batin Rival.

Jadi ... begini rasanya dibuat salting oleh calon mertua sendiri? Rival benar-benar bahagia dengan hal sederhana.

"Nggak pa-pa, Om. Telingaku emang gitu kerjaannya, tau-tau merah."

Bumi ber-oh ria. Lalu menatap Rival lagi. "Saya nggak mungkin manggil Cahya untuk turun ke bawah karena kamu masih dalam hukuman."

"Iya, Om. Saya teh ngerti."

RIVAL (End) Revisi Where stories live. Discover now