53

1.4K 216 18
                                    

Hari ini adalah kali ke enam Revano menjalani kemoterapi, meskipun sebelumnya Revano berhasil melewati masa-masa seperti ini namun tidak untuk kali ini. Usai menjalani kemoterapi, kondisi Revano justru drop sehingga harus mendapatkan perawatan intensif.

Saat ini, hanya suara mesin pendeteksi jantung yang mendominasi didalam ruangan tempat dimana Revano di rawat. Wajah pucat Revano terlihat damai, apakah ini pertanda bahwa Revano sudah merasa lelah dan ingin berhenti memberi harapan kosong pada dirinya juga orang disekitarnya.

Rian menghembuskan nafas kasar, hatinya sakit melihat tubuh Revano yang dipenuhi oleh alat-alat medis.

"Kamu itu anak yang kuat, tangguh, tidak mudah menyerah. Tidak peduli sesulit apapun hal yang kamu hadapi, kamu selalu ingin dan bisa menang."

"Saya tau kamu pasti lelah, istirahatlah dulu tapi setelah ini berjuanglah kembali untuk sembuh. Kami semua menunggumu." Rian mengusap kepala Revano dengan lembut.

Di depan ruang rawat Revano, Rosa dan Levin duduk dikursi tunggu.
“Mas, aku ingin bangun dari mimpi buruk ini. ” Rosa meremas dadanya karena merasa sesak.

“Tenanglah, bukankah putra kita sangatlah kuat.” Levin menarik Rosa ke dalam pelukannya.

“Tapi aku takut mas,” ucap Rosa.

Love, tenanglah.” Levin mencoba menenangkan Rosa, sejak kemarin istrinya selalu merasa gelisah. Dan kegelisahan itu terbukti dengan apa yang terjadi pada Revano sekarang. Dengan Rosa yang seperti ini membuatnya semakin khawatir, dan ketika melihat dokter Rian keluar dari ruangan Revano dengan wajah sendu dadanya seperti di hantam oleh ribuan benda tajam. Levin menatap dokter Rian dengan penuh tanda tanya, dokter Rian menggeleng lemah seakan mengerti maksud dari tatapan Levin. Dengan susah payah Levin mencoba untuk tetap tenang, Levin memejamkan mata sambil menarik nafas dalam karena jantungnya berdebar tidak karuan.

“Levin saya ingin bicara,” ucap dokter Rian kemudian mengajak Levin pergi ke ruangannya.

“Kamu masuklah, temani Revano.” Rosa hanya mengangguk kecil, Levin mengelus pipi Rosa seraya tersenyum mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja  kemudian pergi mengikuti Rian ke ruangannya.

Saat berjalan menuju ruangan dokter Rian, terlihat Alex dan Galih berlari ke arahnya. Dengan nafas yang masih memburu akibat berlari, Alex menatap Levin dengan mata yang berkaca-kaca.

Levin memeluk Alex dan Galih. "Pergilah keruangannya, mama juga ada disana."

"Ingin sekali Al menabrakkan diri atau melompat dari tempat yang tinggi agar terbangun dari mimpi buruk ini."

"Hei, itu bukanlah sifat dari laki-laki sejati. Hadapi ini, kuatkan diri kamu. Percaya bahwa semua ini akan berakhir, berakhir dengan baik." Levin melepaskan pelukannya kemudian menangkup wajah Alex.

"Tenangkan dirimu kemudian temui mama." Alex mengangguk kemudian menghapus air matanya. Levin dan Rian melanjutkan langkahnya menuju ruangan dokter Rian.

Sampai di ruangannya, Rian menghempaskan tubuhnya di kursi dengan menopang kepalanya seraya menetralkan pikirannya.

“Rian, apa yang ingin kamu bicarakan?” ucap Levin dengan hati berdebar.

“Kemoterapi kali ini gagal, terjadi penolakan pada tubuhnya. Itu artinya sel kanker sudah kebal dengan kemoterapi.”

“Sebelumnya saya sudah pernah menjelaskan bahwa kemoterapi tidak akan selalu berhasil, banyak kemungkinan yang akan terjadi dan juga kemungkinan terjadinya resistensi kemoterapi.” Jelas dokter Rian.

“Resistensi kemoterapi terjadi saat kanker yang telah merespon terapi, tiba-tiba mulai tumbuh. Dengan kata lain, sel-sel kanker menolak efek dari kemoterapi.”

AlReGa [END]√Where stories live. Discover now