54

1.5K 211 17
                                    

Semakin hari kondisi Revano yang kian menurun, membuat Rian putus asa. Otaknya selalu di penuhi oleh segala kemungkinan buruk yang akan terjadi pada Revano, kerap kali membuat rian tidak fokus dalam bekerja. Untung saja ada Dava yang membantunya serta ambil peran untuk menangani Revano. Kadang, Rian merasa apa yang terjadi saat ini sangat tidak adil baginya. Kedua putranya tidak bisa menjalani kehidupannya selayaknya remaja seusia mereka akibat penyakit terkutuk yang menggerogoti tubuhnya.

Rian ingin putranya sembuh namun setiap kali semangatnya di patahkan oleh keadaan, keadaan yang membuatnya putus asa dan mengutuk diri karena merasa tidak melakukan yang terbaik untuk putranya. Saat ini bukan hanya Rian yang merasakan hal itu, Rian hanya salah satu dari mereka yang hancur dan tertekan oleh keadaan ini.

Diantara mereka, mungkin Levin terlihat lebih tegar dan kokoh melihat kondisi putranya yang semakin hari semakin menurun. Tapi sebenarnya Levin adalah orang yang paling tersiksa melihat putranya yang bertaruh dengan maut. Levin tidak ingin terlihat rapuh karena ia harus tetap kokoh demi putranya, demi Rosa. Meskipun beban yang di pikulnya sangat berat tapi Levin harus tetap kuat karena Levin selalu memegang prinsipnya bahwa sebagai kepala keluarga, apapun yang terjadi sudah kewajibannya untuk menjaga mereka. Maka bahu itu harus tetap kokoh dan tegap untuk menopang keluarganya.

Hari ini, di dalam rumah yang megah ini sudah berkumpul keluarga kecil yang dulunya tidak pernah terlihat murung namun kini suasananya berbeda. Levin mengumpulkan mereka semua karena ingin berbicara mengenai apa yang ia bicarakan dengan Rian tempo hari, mengenai permintaan Revano dan ini adalah waktunya untuk mengatakan kepada istri dan kedua putranya.

“Papa mengumpulkan kalian disini karena ada hal penting yang ingin papa sampaikan.” Levin menatap Alex dan Galih bergantian.

“Papa tidak bisa dan tidak akan memutuskannya sendiri, papa ingin meminta pendapat kalian.” Alex dan Galih menatap Levin dengan jantung yang berdebar.

“Sebelumnya papa minta kalian, kontrol diri kalian dan berfikirlah dengan kepala dingin.”

“Apa yang papa mau sampein ke kita?” Alex tidak sabar karena Levin sangat berhati-hati dalam berbicara.

“Mengenai Revano.”

“Mas, jangan membuatku takut.” Rosa menyentuh tangan Levin, dan Levin mengusapnya dengan lembut.

“Tenanglah, kalian dengarkan ini dan pikirkan baik-baik.”

“Seandainya...,”

“Seandainya takdir berkata lain...,”

“Pah!”

“Al, calm down! Listen to me, okay.”

“Jauh sebelum ini, Revano membuat kesepakatan dengan om Rian.”

“Revano, ia yang paling paham dengan kondisi tubuhnya. Dan saat ia mulai merasa kewalahan dengan tubuhnya sendiri, Revano mendaftarkan dirinya sebagai pendonor organ. Jika nanti ia pergi, Revano ingin mendonorkan organnya yang masih berfungsi dan bisa di donorkan kepada yang membutuhkan.” Levin menarik nafas dalam sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Salah satunya adalah ingin mendonorkan kornea matanya kepada Anjani, saudari kembarnya.” Air mata Alex jatuh begitu saja, Alex menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Bahunya bergetar dan Levin tahu putranya sedang menangis tanpa mengeluarkan suara, begitupun dengan Galih dan Rosa. Mereka mencengkram ujung baju mereka dengan air mata yang sudah mengalir dipipinya.

“Apa kalian setuju dengan permintaan Revano?”

“Revano pasti sembuh pah!” Alex mengangkat wajahnya menatap Levin dengan tajam.

AlReGa [END]√Where stories live. Discover now