47

2.1K 273 45
                                    

Huek!

Huek!

Pagi ini, rasa mual yang amat sangat membuat Revano terbangun paksa. Di depan wastafel toilet, Revano mengeluarkan semua isi perutnya. Meskipun sudah memuntahkan semua isi dalam perutnya, rasa tidak enak itu masih ia rasakan sampai ia kembali memuntahkan isi perutnya hingga hanya cairan saja yang keluar. Tubuh Revano sangat lemas dengan nafas memburu ia menatap wajah pucat itu pada cermin dengan nanar.

“Menyedihkan,” gumamnya sambil menyeka keringat di dahinya kemudian menghidupkan keran untuk membasuh wajahnya.

Setelah membasuh wajahnya, Revano kembali menatap pantulan dirinya pada cermin. Tubuh kurus dengan wajah pucat, itu yang ia lihat saat ini. Revano tersenyum getir, ia terlihat begitu menyedihkan. Tangannya terkepal ketika rasa sakit itu datang, belum hilang rasa tak nyaman akibat mual yang ia rasakan dan kini ditambah lagi sakit di kepalanya yang begitu hebat. Tubuhnya merosot dengan tangan yang meremas kepalanya, Revano mencoba menetralkan nafasnya sambil bersandar pada tembok namun rasa sakit itu semakin menyiksanya. Cairan kental berwarna merah mengalir dari hidungnya, sambil memegangi kepalanya Revano menyeka darah yang keluar dari hidungnya.

Diluar suara ketukan terus terdengar namun Revano tetap tidak menjawab, untuk berbicara saja ia tidak sanggup bahkan untuk duduk  tubuhnya harus bertopang pada tembok. Alex semakin keras mengetuk pintu toilet sambil memanggil nama Revano, suara Alex semakin samar terdengar ditelinganya. Tubuh Revano jatuh ke lantai dengan kesadaran yang semakin menurun.

“Aarrgh.. sakit,” rintih Revano sangat pelan.

Karena Revano tidak kunjung menjawab, Alex membuka pintu toilet dengan paksa akibat khawatir. Saat pintu terbuka, Alex sangat terkejut melihat Revano yang tergeletak di lantai dengan banyak darah. Alex sangat panik, dengan cepat ia memangku kepala Revano.

“Sakit,” ucap Revano yang masih berusaha mempertahankan kesadarannya.

“Lo harus bertahan,” ucap Alex kemudian menggendong Revano keluar dari toilet dan di baringkan di ranjangnya, setelah itu ia menekan tombol merah yang ada disana agar dokter datang keruangan Revano. Meski tangannya bergetar Alex membersihkan darah Revano dengan hati-hati, dalam hati ia terus merapalkan doa agar Revano baik-baik saja. Wajah pucat Revano membuat Alex semakin frustasi. Selang beberapa menit, dokter Rian datang bersama dengan dua orang suster.

“Al, kamu tunggu diluar. Biar om tangani Revano,” ucap dokter Rian.

“Tapi...”

“Dia akan baik-baik saja.” Dokter Rian menepuk pundak Alex untuk meyakinkannya. Alex mengangguk kecil kemudian menatap Revano sebelum akhirnya meninggalkan ruangan itu dan menunggu di luar.

Di luar, Alex duduk dengan gelisah. Sesekali tangannya memukul dahinya mencoba untuk menyingkirkan pikiran-pikiran negatif yang bermunculan. Alex memejamkan matanya, menetralkan perasaannya karena suara rintihan Revano terus terngiang di otaknya.

“Al!” Alex membuka matanya dan menoleh ke arah sumber suara. Levin, Rosa dan Galih berlari mendekatinya. Melihat ada bercak darah pada pakaian Alex, hati mereka mencelos seakan tahu hal buruk apa yang membuat Alex menelpon sambil menahan tangis. Tidak tega melihat sorot mata yang menunjukkan kekhawatiran yang amat sangat, Rosa memeluk Alex dengan sangat erat. Dalam dekapan sang mama, tangis Alex akhirnya pecah. Alex menangis sambil mengeratkan pelukannya pada Rosa.

“Al gak bisa liat dia kayak gini ma,” ucap Alex.

“Rasanya sakit sekali melihat dia tersiksa seperti ini,” lanjutnya yang maih terisak.

“Hei, kita semua tahu bahwa dia tidak akan mudah menyerah. Yang kita harus lakukan adalah tetap berdoa, agar semuanya baik-baik saja.” Levin mengusap punggung Alex dengan lembut.

AlReGa [END]√Where stories live. Discover now