48

2.4K 271 40
                                    

Diruang rawatnya, Revano diam menatap kakinya dengan sendu.  Sejenak Revano memejamkan matanya untuk menetralkan perasaannya. Disana Levin, Rosa, Alex dan Galih menatapnya dengan rasa bersalah. Rosa mendekat dan langsung memeluk Revano dengan erat, Revano mendongak dan melihat Rosa.

Don’t cry,” ucap Revano lirih.

Please...” mohon Revano.

I’m okay, don’t worry.” Revano menghapus air mata Rosa dengan ibu jarinya, mengusap pipi mamanya dengan lembut seraya tersenyum.

“Jangan nangis mah, Re baik-baik aja. Kan kata om Rian Re bisa jalanin terapi biar bisa jalan lagi,” ucap Revano.

Setelah sadar, Rian langsung memeriksa kondisi Revano. Saat Revano mencoba untuk bergerak, ia merasa kakinya seperti mati rasa dan Rian langsung memeriksanya. Revano terus mencoba menggerakkan kakinya namun nihil, tidak ada pergerakan pada kakinya. Awalnya Revano memberontak dan menepis tangan dokter Rian, ia menatap Rian dengan tajam namun setelah beberapa saat ia memalingkan wajahnya ke arah jendela. Namun sesaat kemudian ia tersenyum getir, menertawakan dirinya sendiri. Revano merasa dirinya yang sekarang semakin terlihat menyedihkan dan tidak berguna, semakin merepotkan saja.

Dokter Rian mengerti bagaimana perasaan Revano kala itu, ia berusaha berbicara setenang mungkin dengan Revano. Menjelaskan semuanya tanpa ingin di potong dan di jawab. Rian menjelaskan dengan sedetail mungkin secara perlahan agar tidak membuat emosi Revano terpancing, karena Rian tahu bahwa Revano saat ini sedang bergumul dengan pikirannya sendiri.

Setelah Rian menjelaskan semuanya, Revano terlihat sedikit menerima apa yang ia jelaskan. Namun sejak saat itu hingga malam ini Revano menjadi soaok yang lebih pendiam dan bicara hanya seperlunya. Memang semua tahu bahwa Revano bukan soaok yang suka banyak bicara namun kali ini berbeda, ia menjadi lebih pendiam dan diam-diam menjadi murung.

Di ruangan itu satupun tidak ingin meninggalkan Revano, sedetikpun tidak. Dan semua yang ada disana sedikit merasa bersalah melihat kondisi Revano saat ini, terutama Levin karena Levinlah orang yang paling bertanggung jawab sebab ia yang memutuskan agar segera melakukan operasi atau pengobatan tanpa alasan apapun.

“Gue bakal selalu ada buat lo, gue bakal jadi kaki lo yang bawa lo kemanapun lo mau pergi.” Alex mendekat dan menepuk pundak Revano, matanya sedikit merah karena menahan air mata.

Revano menatap Alex. “Gue gak bisa main basket lagi.”

"Gue gak bisa naik motor lagi, dan gue gak bisa main di sirkuit lagi." Revano tersenyum hambar.

"Lo bakal bisa lakuin itu lagi Re, gue yakin. Dan lo jangan pernah bolos kalo ada jadwal terapi," ucap Alex.

“Lo harus temenin gue selama terapi,” sahut Revano kemudian tersenyum. Alex tak bergeming, sebuah buliran bening meluncur namun segera disekanya. Alex menabrak tubuh Revano kemudian memeluknya dengan sangat erat.

Revano membalas pelukan itu dan menepuk-nepuk punggung Alex pelan, pundaknya terasa basah dan Revano tahu Alex sedang menangis sambil memeluknya. Pelukan itu seakan mengartikan bahwa Alex sangat takut jika Revano pergi, pergi dan tidak pernah kembali lagi.

“Lo pasti sembuh! Dan lo harus sembuh,” ucap Alex seperti bisikan dengan mengeratkan pelukannya.

Galih tidak diam saja, ia ikut mendekat dan langsung memeluk Revano dan Alex. Air matanya pun tidak bisa ditahan, rasa bersalah itu terus membayangi dirinya sampai saat ini. Seandainya ia dapat bertukar posisi dengan Revano tentu saja ia akan menggantikannya.

“Seandainya gue bisa gantiin posisi lo, biar gue aja yang sakit Re.”

“Bacot bego!” Revano melepas pelukannya kemudian memukul kepala Galih dan menatapnya tajam.

AlReGa [END]√Where stories live. Discover now