31

3.2K 311 26
                                    

“Saya bisa mati karena serangan jantung gara-gara kamu.”

“Maafkan saya.”

“Jika seperti ini terus kejadiannya, saya pastikan kamu tidak akan bisa menghindar dari saya dan dokter Rian.”

“Ck, jangan mengancam saya.”

“Saya tidak mengancam, saya hanya memperingati pasien yang keras kepala.”

“Saya minta maaf, berhenti mengomel seperti itu om.”

Sebuah perdebatan antara dokter dan pasien terjadi di ruangan bernuansa putih itu sejak satu jam yang lalu saat pasien tersebut bangun dari tidurnya. Sejak kemarin Dava terus berada di ruangan tersebut untuk memantau Revano hingga pagi ini Dava tetap tidak beranjak dari ruangan tersebut. Ia merutuki kebodohan anak itu karena selalu mengabaikan nasehatnya. Namun baru kali ini Dava dibuat sangat frustasi oleh Revano karena kalimat singkat yang di ucapkan Revano di seberang telepon.

”Atap rumah sakit, rasanya saya ingin berhenti bernafas.”

Dava berlari sekencang mungkin agar cepat sampai ketempat dimana Revano berada. Pikirannya kalut sehingga ia tidak mengunakan lift untuk sampai ke lantai paling atas gedung itu. Dava menaiki tangga darurat dari lantai satu hingga lantai lima rumah sakit. Pikiran negatif terus menerornya yang membuat Dava semakin dibuat frustasi.

Sesampainya di tempat tujuan, pemandangan yang pertama kali ia lihat membuat hatinya mencelos. Dava mengatur nafasnya yang tersengal-sengal karena berlari sambil menyeka keringat yang bercucuran di dahinya mendekat perlahan ke arah anak laki-laki yang tengah duduk bersandar dengan wajah yang tenggelam diatas lipatan tangannya.

Tubuh Revano bergetar dan Dava tau anak itu tengah menangis. Namun ketika matanya menangkap ada noda merah pada lengan hoodie yang anak itu kenakan membuat Dava mengusap wajahnya kasar. Dava mensejajarkan tubuhnya dengan Revano kemudian menyentuh bahu yang tengah bergetar tersebut.

“Langit terlihat mendung dan angin juga bertiup sangat kencang. Udara disini menjadi dingin, itu tidak baik untuk kesehatanmu.” Dava menarik topi dari hoodie Revano kemudian memakaikannya ke kepala Revano agar ia merasa lebih hangat.

“Saya memang pengecut,” ucap Revano.

“Saya ingin melompat tapi bayangan mereka muncul dikepala saya.” Tubuh Revano semakin bergetar dan itu sangat menyiksa bagi Dava, namun Dava memilih tetap diam dan mendengarkan saja. Ia tahu bahwa saat ini Revano hanya ingin didengarkan bukan meminta komentar.

“Bayangan mama yang selalu tersenyum, suara mama yang lembut, cara mama yang lembut saat mama mengeringkan rambut saya dengan handuk.”

“Bayangan papa yang selalu tegas, yang konyol dan lembut. Bayangan Al, Galih dan juga Raka yang selalu tetawa lepas tiba-tiba berputar dikepala saya.”

“Dan saya takut semua itu hilang hanya karena penyakit ini om.” Revano mengangkat wajahnya dan menatap Dava dengan tatapan sendu. Dava terkejut melihat wajah Revano yang pucat pasi dengan keringat dingin membasahi dahinya.

“Kita ke ruangan saya saja, sepertinya akan turun hujan.” Revano hanya tersenyum singkat seraya melayang kedalam kegelapan yang membuatnya lupa dengan rasa sakit yang menyiksanya.

Dan disinilah Revano berada sekarang, diruangan VVIP 1. Perdebatan antara pasien dan dokter itu tidak berhenti karena sang pasien sangat keras kepala jika dinasehati. Jika saja ada dua pasien lagi yang seperti Revano, dokter Dava bisa menjadi gila karena frustasi.
“Beristirahatlah, agar kondisimu membaik.” Dava menepuk lengan Revano kemudian berbalik untuk keluar dari ruang rawat Revano.
“Om.” Panggilan Revano membuat Dava kembali menghadap Revano.

AlReGa [END]√Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz