Bab 17 - Aku Mendengar Sebuah Omong Kosong

8.4K 1.7K 163
                                    

Matahari di musim panas ini bersinar begitu cerah juga menyengat. Syukurlah aku memakai gaun setengah lutut yang ringan dipadu sebuah topi bundar tuk melindungi wajahku.

Memakai berlapis-lapis kain itu sungguh menyusahkan, terutama saat ingin menyelesaikan panggilan alam. Berbeda dengan Bellanca yang paling suka gaya busana tersebut karena membuatnya terlihat seperti putri kerajaan.

Sedari tadi aku dan Zeno mengitari daerah yang sama, dari jalan a ke jalan b dan terus berulang seperti itu. Entah kenapa ini terasa canggung bagiku.

"Hm... Grand Duke, apa kau tidak kepanasan dengan pakaian hitam itu?" tanyaku membuka topik pembicaraan.

"Memangnya kenapa dengan warna hitam?" tanya Zeno kembali seraya menaikkan satu alisnya.

"Kain warna hitam itu tebal dan tidak bisa menyerap panas dengan baik dibandingkan dengan kain warna cerah lainnya. Ini musim panas, sebaiknya hindari pakaian berwarna gelap atau kau akan basah karena berkeringat terus," jelasku sesuai yang aku tahu.

Zeno terkekeh sambil menyisir rambutnya. Garis senyum di wajahnya begitu natural, memancarkan ketulusan. Matanya menghilang ketika dia sedang tertawa.

Aku menahan napas sesaat. Dia manusia tertampan setelah Ayah.

Asal kalian tahu bahwa laki-laki yang sedang menyibak rambutnya memiliki damage yang kuat selain kata 'hm'. Itu yang selalu dikeluhkan oleh pembacaku dulu saat membaca scene dalam novelku. Dan sekarang aku mengalaminya sendiri.

Setelah kuperhatikan lekat-lekat, ternyata Zeno mempunyai satu titik gelap di bawah sudut mata kirinya, tahi lalat kecil. Tanda kecantikan, kalau kata orang-orang di duniaku dulu.

"Kau perhatian sekali, Lady. Aku merasa terhormat diperhatikan oleh gadis cantik sepertimu," balasnya masih dengan wajah tersenyum lebar.

Mendadak hawa panas merayap naik ke wajahku. Entah karena mendengar gombalannya atau mungkin ini adalah efek dari sinar matahari yang makin naik ke atas? Aku memperbaiki sudut topiku sembari berdeham kecil.

"Ha ha ha... Terima kasih, Yang Mulia." Aku tertawa kikuk seraya menutupi mulutku.

Saat kami hendak berbelok ke jalan kecil yang merupakan jalan pintas ke gedungku berada, tiba-tiba Zeno menarikku ke pelukannya dari belakang. Aku memekik terkejut.

Punggungku menempel sempurna di perutnya terasa seperti ada roti sobek yang melekat di sana. Seketika mataku terbuka lebar, aku salut jantungku kuat juga meski mengalami kejutan bertubi-tubi.

Padahal dia baru berusia 17 tahun tapi kenapa perutnya sudah berkotak seperti papan cucian? Aku takjub!

"Kau tidak apa-apa, Aileana?" tanya Zeno, suaranya terdengar khawatir.

Napasku sedikit memburu. Sambil menetralkan pernapasan, aku menjawab, "Ya, aku baik-baik saja."

Pandanganku tertuju pada sebilah belati mengilap tertancap di tong kayu kosong di depanku. Di sampingnya terdapat sebuah panah kecil. Dan keduanya hampir saja mendarat cantik di salah satu bagian tubuhku.

"Heh... Entah harus kukatakan kalian ini nekat atau bodoh beraninya menyerang bangsawan terhormat di siang bolong," sindir Zeno sedikit berteriak dengan senyuman miring menghiasi wajahnya.

Aku menoleh ke kanan kiri dan tidak melihat siapa-siapa. "Kau berbicara kepada siapa, Yang Mulia?" tanyaku bingung.

Zeno menunduk tuk berbisik di telingaku. "Tunggu dan lihat saja, para serangga itu akan muncul dengan sendirinya."

Aku hanya mengangguk. Dan benar saja, tak lama kemudian beberapa orang dengan pakaian ala pengemis keluar satu per satu sambil membawa senjata tajam.

Aku Menikahi Grand Duke TerkutukWhere stories live. Discover now