Alvaro-Ardan

1.4K 253 10
                                    

Naira mencari keberadaan anak dan suaminya. Naira meninggalkan mereka untuk membuat susu sebagai pendamping sarapan Alvaro. Saat Naira kembali ke kamar untuk memanggil Arsen, sang suami tidak ada. Begitu pula Zack. Naira hendak keluar jika saja ia tidak mendengar gemericik air dari dalam kamar mandi. Naira segera menuju kamar mandi dan menemuka Zack sedang dimandikan oleh sang ayah. Arsen bahkan mengajak anak itu bermain.

Naira menyiapkan pakaian untuk suami dan anaknya. Setelah itu Naira kembali turun ke bawah untuk bersiap sarapan. Sekitar lima menit setelahnya, Arsen dan Zack turun ke bawah. Naira langsung menghampiri mereka dan menggendong Zack dalam pelukannya.

"Selamat pagi baby Zack," Sapa Naira.

Arsen melihat itu dan tersenyum. Sarapan pagi itu diiringin dengan sedikit canda tawa antara Alesha dan juga Arsen. Usai sarapan keluarga kecil itu duduk di ruang keluarga. Mereka masih membaringkan Zack di tempat khusus untuk bayi. Arsen menemani Zack dan mengajaknya bermain bersama dengan Alvaro.

"Dek,"

"Ya, pi?"

"Nanti, panggil kakak-kakakmu ke rumah. Papi mau bicara,"

Arsen mengangguk paham. Arsen mengirimkan pesan sesuai dengan keinginan sang ayah. Setelah itu seperti biasa, sang ayah akan membawa Zack ke kamarnya untuk tidur siang. Zack senang-senang saja digendong oleh kakeknya. Zack pada dasarnya sangat mudah untuk dekat dengan lain. Kada Arsen merasa cemas. Dia takut anak itu bisa-bisa diculik oleh orang tidak dikenal. Arsen menggelengkan kepalanya perlahan. Mengusir pemikiran konyol di kepalanya.

Pukul tujuh malam kediaman Alvaro kembali ramai dengan anak dan cucunya. Mereka makan malam bersama sebelum akhirnya Alvaro mengajak ketiga putranya ke ruang kerjanya.

"Ada apa pi?" Tanya Arman.

Alvaro berdiri dan membuka salah satu laci di meja kerjanya.

"Papi mau memberitahu sesuatu. Tapi, sebelum itu, kalian harus janji akan menerima keputusan papi. Tanpa penolakan sedikit pun,"

Ketiga anak itu mengangguk kecil. Walau mereka tidak yakin dengan hal yang ingin sang ayah katakan. Alvaro meletakan sebuah map di meja. Mendorong map itu untuk lebih mendekat ke arah ketiga putranya.

"Ini..." Ujar Arsen saat melihat logo rumah sakit keluarganya tercetak di map cokelat itu.

"Buka dan lihat sendiri saja,"

Ardan membuka map itu dan meneguk ludahnya dengan susah payah.

"Papi tidak mau menjalani pengobatan yang merepotkan," Ujar Alvaro.

"Pi..." Arman menganggil.

"Papi sudah memenuhi janji bukan? Papi sudah menggendong cucu-cucu papi. Untuk Alesha, biar anak itu menentukan sendiri kapan dia mau menikah. Jangan membuat dia buru-buru menikah dengan terpaksa karena keadaan papi! Papi tidak mau seperti itu,"

"Tapi, pi... Penyakit papi masih bisa diobati," Ucap Arsen.

"Iya, tapi, kemungkinan hidup tetap sedikit, kan?"

Arsen terdiam. Dia bukan tidak tahu kalau penyakit yang ayahnya derita sudah menemui titik buntu. Berobat pun belum tentu akan membuat umur sang ayah bertambah. Tapi, Arsen tidak mau menyerah pada keadaan. Arsen mau berusaha asal sang ayah juga mau. Arsen mengangkat kepalanya untuk membujuk sang ayah, namun apa yang dilihatnya membuat dia urung. Ayahnya sedang menatap dirinya dan juga kedua kakaknya dengan senyum yang sangat teduh dan sedikit sendu.

"Papi sudah kangen dengan mami kalian,"

Ucapan sang ayah membuat kedua bahu Arsen merosot beberapa mili. Arsen memilih menatap ke arah jendela yang mengarah ke taman samping.

[DS #3] Save Me Hurt MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang