Siapa?

4.5K 400 7
                                    

Pagi ini Arsen berhasil membuat semua orang di ruang makan rumahnya terkejut dan tercengang. Bahkan tanpa dia sadari, kakak pertama, kakak ipar pertama, adik, dan bahkan ayahnya tengah menatap ke arahnya. Arsen sendiri masih larut dalam pemikirannya. Well, setidaknya sampai beberapa detik lalu, sebab saat ini tangan Ardan sang kakak sudah menempel di keningnya.

"Kenapa kak?" Tanya Arsen dengan heran setelah sempat tersentak tadi.

"Kamu sehat?" Bukannya menjawab sang kakak malah balik bertanya.

"Tentu sehat. Ada yang salah?"

Lagi-lagi semua orang dibuat tercengang oleh Arsen. Arsen melihat kakaknya tengah melirik cangkir di depannya. Arsen mengangguk paham kemudian.

"Sedang ingin," ujar Arsen sambil mengambil cangkir itu dan meminumnya.

Ardan memang tidak terlalu dekat dengan adik-adiknya tapi, dia tahu kalau Arsen bukanlah peminum kopi. Sedangkan, Alvaro tahu dengan jelas putranya tengah memikirkan sesuatu dan hal itu sukses membuat Arsen gusar dan terjaga semalaman suntuk.

"Nak, ada apa?" Tanya Alvaro akhirnya.

Arsen menggeleng.

"Jangan bohong! Papi tahu kamu ada masalah," ujar Alvaro.

Mendengar ucapan Alvaro, Ardan baru teringat sesuatu. Dia menepuk bahu adik kembarnya itu dengan perlahan.

"Mereka aman. Aku mengirimkan sepuluh orang untuk menjaga mereka," ujar Ardan.

Arsen mengangguk. Dia memakan roti di depannya dengan tenang.

"Siapa sih orang gila yang berani mengusik Naira?" Ujar Ardan membuat Alvaro dan semua orang di ruang makan itu paham kenapa Arsen gusar sampai terjaga semalaman.

"Kemungkinan anak dokter Tomo. Aku melihatnya kemarin,"

"Kamu melihatnya? Katanya kaca mobilnya gelap sekali," ujar Ardan.

"Dia mengikuti kami, bukan sekedar menunggu di depan rumah Aira,"

"Sejak kapan?"

"Entah. Mungkin sejak kami berangkat dari rumah sakit. Aku sih baru menyadari saat kami mencari pakaian di mall,"

Ardan mengangguk. Alvaro sendiri tahu kalau ketiga putranya memiliki instinct yang tajam. Ketiga anak laki-laki Alvaro memang menuruni sifat-sifat-nya. Semua sifat Alvaro terbagi kepada ketiga anak itu dan beruntungnya mereka bertiga mendapat sifat sentitif terhadap bahaya yang lumayan tinggi.

"Lalu, hari ini kamu mau kemana?" Tanya Ardan.

"Ke rumah Aira. Tapi, nanti siang. Aku mau tidur dulu,"

Ardan mengangguk kecil. Arsen menyelesaikan sarapannya. Dia meminum segelas air putih dan mengusap puncak kepala Alesha dengan sayang perlahan.

"Cepat habiskan sarapanmu!" Ujar Arsen membuat kening Alesha berkerut.

"Pangeranmu itu sudah menunggu di depan rumah sejak jam 5 subuh tadi," sambung Arsen membuat Ardan tersedak, Alvaro dan Maura terkejut. Sementara Alesha tercengang.

"Apa?" Tanya Alesha.

"Dia sudah datang sejak jam lima subuh. Aku melihat mobilnya parkir dari tadi," ujar Arsen lagi.

Arsen mencium puncak kepala Alesha dengan sayang. Lalu, dia naik ke lantai dua dan berjalan menuju kamarnya. Di lorong itu dia melihat foto-foto keluarganya terpajang apik di meja kecil.

"Mami..." gumam Arsen.

Langkahnya terhenti di sebuah foto yang sampai saay ini membuatnya tersenyum kecil. Foto keluarganya. Saat itu sang ibu sedang menggendong Alesha yang masih baru dilahirkan. Foto yang diambil di rumah sakit itu baru dicetak beberapa bulan lalu. Saat itu mereka baru sadar dan ingat kalau mereka pernah meminta seorang pegawai rumah sakit mengambil foto mereka bersama. Jika mereka tidak ingat, mereka hanya akan memiliki foto keluarga saat sang ibu tengah mengandung Alesha saja.

[DS #3] Save Me Hurt MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang