Lihat Saja

1.2K 249 14
                                    

Pernahkah Arsen mengatakan kalau Xaferius itu sangat pendiam? Jika belum, Arsen akan mengatakannya sekarang. Arsen sendiri heran dari mana sifat pendiam Xaferius menurun. Arsen bukan orang yang pendiam. Dia lumayan mudah bergaul dibandingkan kedua kakaknya. Arsen sempat mengira Naira memiliki sifat pendiam. Tapi, ternyata Naira menjadi pendiam sejak kedua orangtuanya meninggal. Sebelum itu, Naira adalah anak yang sangat supel.

"Dek.. Papa sedang bertanya padamu," Ucap Arsen.

Arsen tak habis pikir dengan putra bungsunya ini. Bagaimana bisa anak itu dengan santainya datang ke UGD dengan kening berdarah? Arsen sampai terkejut setengah mati saat melihat putranya berjalan santai memasuki UGD.

"Rio Xaferius Dimitra! Papa ini sedang bertanya!" Arsen sedikit menaikan nada bicaranya.

"Aku dengar, pa,"

"Kamu dengar tapi, tidak menjawab,"

"Aku tidak tahu harus jawab apa,"

"Dek..."

"Aku jatuh,"

"Darimana?"

"Hmm... Entahlah,"

Arsen benar-benar dibuat mengelus dada dengan kelakuan putra bungsunya. Seiisi UGD bahkan kini memusatkan perhatian padanya. Arsen memang tengah menanyai putranya namun, tangannya tetap melakukan tugasnya. Mengobati luka di kening Xaferius. Arsen menarik kursi di sebelahnya. Dia duduk di depan Xaferius.

"Kamu mau tidur disini atau di ruangan papa?"

"Lama?"

Arsen mengerutkan kening. Dia benar-benar harus memutar otaknya ketika sednag berbicara dengan Xaferius. Anak itu terlalu pendiam dan sering kali menjawab hanya dengan satu kata.

"Lumayan. Papa tidak tahu luka di keningmu itu akan berdampak apa. Lagi pula kamu tidak memberitahu papa kenapa kening kamu terluka begitu,"

Xaferius membuka mulutnya.

"Jangan menjawab jatuh! Tidak ada orang yang jatuh dan hanya terluka di kening!" Arsen menyela sebelum Xaferius sempat berucap.

Arsen bangkit dan mengambil kantung infus yang diserahkan oleh Alika. Alika sendiri tersenyum geli saat melihat wajah Arsen yang panik bercampur, khawatir, dan marah.

"Kamu tidur disini dulu saja. Setidaknya sampai infus ini habis," Ujar Arsen setelah selesai memasang jarum infus di punggung tangan Xaferius.

"Kakak,"

"Nanti papa akan memberitahu kedua kakakmu itu,"

Arsen bersiap untuk memeriksa pasien lainnya sebelum dia mengingat salah satu kebiasaan putra bungsunya ini.

"Xafe..." Panggil Arsen dan Xaferius menatap ke arahnya.

"Jangan coba-coba mempercepat aliran infusnya! Papa akan mengikat tanganmu kalau kamu melakukan itu!"

Xaferius mendengkus. Arsen segera berjalan ke tempat pasien lain. Memeriksa beberapa pasien dan meminta suster untuk memindahkan pasien ke kamar rawat.

"Nak dokter, anak tadi anaknya nak dokter?" Tanya seorang pasien yang sudah lumayan tua.

"Iya, oma,"

"Anaknya nak dokter lucu,"

Arsen hanya bisa tersenyum saat mendengar ucapan nenek itu.

"Jangan terlalu keras saat bertanya padanya! Anak seusianya tidak suka dikerasi. Anak saya juga dulu seperti itu," Ucap sang nenek.

Arsen mengangguk. Dia kembali ke tempat Xaferius sekitar dua jam kemudian. Saat itu Xaferius sudah terlelap nyaman disana. Arsen melirik cairan infus yang sudah sisa setengah. Arsen menghela kecil. Putranya kembali mempercepat aliran cairan infus. Arsen menghentikan cairan infus dan melepaskan dengan perlahan jarum infus di tangan Xaferius.

[DS #3] Save Me Hurt MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang