Ketenangan

1.5K 223 34
                                    

"Pa..."

Arsen menoleh saat mendengar suara putra sulungnya. Dia menghentikan gerakan tangannya untuk sejenak.

"Xafe harus izin, kan? Apa papa atau mama sudah membuat surat izin untun Xafe?"

Arsen menggeleng kecil.

"Sepertinya adik bungsumu ini ingin sekali bersekolah. Sejak tadi pagi dia sudah merengek pada papa untuk mengizinkannya sekolah,"

Arsen kembali melanjutkan pekerjaannya. Sesekali dia meniup-niup kening Xaferius. Memang Arsen tengah membantu Xaferius mengganti obat dan perban untuk luka di keningnya itu. Xaferius sendiri tidak banyak berujar. Dia hanya memegang tangan sang ayah kala lukanya terasa sangat sakit.

"Aku ke bawah duluan kalau begitu. Sekalian memberitahu mama, kalau Xafe akan masuk sekolah hari ini,"

Arsen mengangguk kecil dan Zachary pergi dari kamar itu. Arsen kembali menyudahi pekerjaannya dengan menempelkan plester berbentuk persegi untuk menutup sempurna luka di kening Xaferius.

"Sudah selesai," Ucap Arsen.

Xaferius membuka matanya yang sedari tadi dia pejamkan. Sebenarnya, Xaferius itu adalah anak bungsu yang benar-benar memiliki semua sifat anak bungsu, kecuali sifat pendiamnya. Xaferius sangat benci dengan rasa sakit. Dia selalu hati-hati guna meminimalisir adanya luka. Walaupun jika sudah terluka dia akan diam saja seolah-olah tidak terjadi apapun, sebenarnya kalau diperhatikan lebih jelas, tangan Xaferius pasti sedang meremas kuat celana atau bagian ujung atasan yang dia pakai.

Xaferius juga sedikit penakut. Dibandingkan dengan kedua kakaknya, Xaferius selalu mengingatkan Arsen akan dirinya sewaktu kecil dulu. Rasa takut yang berlebih membuat Xaferius menjadi lebih diam. Arsen terpaksa memisahkan kamar dan kelas Vincent dari Xaferius agar Xaferius bisa menjadi anak yang mandiri. Butuh usaha keras bagi Arsen san Naira saat pertama kali kedua anak kembar itu dipisahkan kamarnya.

"Dengarkan papa, dek! Jangan memaksakan diri mengikuti semua pelajaran! Kalau kamu merasa pusing atau lukamu sakit, segera beritahu gurumu. Minta izin untuk pulang kalau perlu. Lalu, jangan berolahraga dulu! Apa lagi kalau kamu main bola, papa tidak mengizinkanmu. Apa kamu paham?"

Xaferius mengangguk kecil.

"Ayo, turun dan sarapan! Mama dan kedua kakakmu pasti sudah menunggu di bawah,"

Arsen berjalan bersisian dengan Xaferius. Kepala Xaferius sedikit tertunduk. Arsen menepul pelan punggung Xaferius sebelum dia mengusapnya dengan sayang.

"Minta pada siapapun pengawalmu untuk menghubungi papa. Papa akan dengan senang hati mengobrol denganmu," Ucap Arsen.

Arsen tahu Xaferius masih khawatir tentang anak yang melemparnya dengan bola basket kemarin. Jangankan Xaferius! Arsen saja masih takut pada kejadian kemarin. Arsen bahkan tidak berani memberitahu Naira. Arsen takut Naira akan sangat khawatir pada Xaferius nantinya.

Arsen dan Xaferius bergabung di meja makan. Mereka memakan sarapan dengan tenang. Seusai sarapan, ketiga jagoan Arsen berangkat menuju sekolah mereka. Arsen sendiri masih duduk di meja makan dan menghabiskan teh pagi-nya. Tangan Arsen melihat beberapa berita melalui ponselnya sebelum notifikasi pesan dari kedua kakaknya muncul di ponselnya.

Arsen terkekeh dan tersenyum puas saat melihat jawaban kedua kakaknya. Mereka menjawab dengan singkat dan hanya satu kata yang berbeda, namun memiliki arti yang sama.

"Kakak tidak ke rumah sakit?" Tanya Naira.

"Tidak. Hari ini tidak ada jadwal khusus. Aku kan sudah tidak menjadi dokter tugas lagi,"

Naira mengangguk paham. Memang kemarin itu Arsen ada di ruang UGD karena ruang UGD sedang kekurangan personil. Dokter yang harusnya masuk saat itu, tiba-tiba sakit. Jadilah Arsen menggantikannya.

[DS #3] Save Me Hurt MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang