Bocah Besar

8.8K 565 15
                                    

Arsen terus menatap ponselnya. Tadi, ketika dia baru saja sampai di Samarinda, Dianka suster jaga di rumah sakit memberitahunya jika perempuan itu sudah sadar. Arsen menyuruh Dianka untuk menahan perempuan itu selama dia masih belum sehat. Hal paling aneh adalah, perempuan itu menolak dan memilih pergi dengan sedikit mengancam para suster dan dokter jaga

"Menarik..."

Suara ketukan pintu membuatnya berhenti memikirkan perempuan itu. Walaupun kata permohonan dari perempuan itu terus terngiang dan tidak ingin pergi dari otaknya

'Mami... Tolong Arsen... Kenapa otak Arsen jadi nggak bisa fokus gini...'

Pintu ruangan Arsen kembali diketuk. Arsen segera beranjak untuk membuka pintu tersebut.

"Maaf, dokter. Saya tahu dokter baru sampai tapi, pasien keadaan kritis dokter,"

"Siapkan ruang operasi!"

"Baik dokter,"

Arsen segera meletakan ponsel dan jam tangannya. Di segera berlari menuju ruang operasi. Arsen memang sudah beberapa kali ke rumah sakit ini karena itulah, dia cukup hafal dengan letak ruangan-ruangan penting di rumah sakit ini.

"Setelah ini, tolong berikan datanya pada saya," ujar Arsen dan dokter juga suster disana hanya mengangguk.

Arsen kembali lagi ke ruangannya. Dia duduk di kursi dan dia memejamkan matanya. Melepaskan kelelahannya setelah menjalani operasi besar yang menyita waktunya selama lebih dari 7 jam.

.............

"Siapkan tiket ke Jakarta sekarang juga,"

"Maaf dokter, tidak ada penerbangan malam,"

"Untuk besok maksud saya. Tolong pesankan untuk besok, okey?"

Suster itu pergi. Arsen duduk di ruangannya. Tujuh jam sudah berlalu dan dia sudah menyelesaikan tugasnya. Arsen memejamkan matanya. Entah kenapa saat-saat seperti ini, dia terus terbayang gadis yang menemuinya di Jakarta.

"Mami, Arsen harus apa?" Gumam Arsen.

Merasa lelah, Arsen memilih masuk ke sebuah kamar kecil. Dia membaringkan badannya di atas kasur kecil dan memejamkan matanya. Mencoba mengistirahatkan otak dan matanya.

Pukul setengah lima pagi, Arsen sudah bersiap menuju bandara. Dia menunggu di bandara dan membeli sarapan seadanya di bandara. Begitu pintu ruang boarding terbuka, Arsen langsung masuk ke dalam ruang boarding. Dua jam lebih perjalanan, dia mendarat di bandara Soetta. Arsen langsung memanggil taksi.

Arsen menatap keluar jendela. Dia memilih pulang dan istirahat dulu untuk hari ini. Besok dia baru akan pergi ke rumah sakit. Ada operasi yang harus dia lakukan besok. Arsen menghela lelah. Jika ingin jujur dia lelah. Tapi, begitu mengingat banyak orang yang butuh bantuannya, rasa lelah itu hilang.

"Papi... Arsen pulang," ujar Arsen dengan santai.

Tidak ada jawaban membuat Arsen berjalan ke ruang makan. Disanalah gadis cantik itu berada. Dia sedang duduk di sebelah Alesha. Meski pun dia hanya duduk disana, Arsen sudah merasakan dirinya terpaku pada gadis itu.

"Ah! Naira, kenalkan. Itu kakakku," ujar Alesha membuat Arsen mengerutkan kening.

"Dia teman Alesha," ujar Alvaro sang ayah, membuat Arsen mengangguk kecil.

"Oh..."

Arsen berjalan ke arah kulkas. Dia mengambil air dingin dan meminum air itu dalam beberapa tegukkan besar.

"Kenapa waktu itu kamu ke rumah sakit?"

Pertanyaan mendadak yang Arsen lontarkan membuat gadis itu menegang kaget.

"Itu... untuk adik saya,"

"Adik kamu?"

"I-iya..."

"Dia sakit apa?"

"Gagal ginjal,"

Kening Arsen berkerut. Sementara adik dan ayahnya justru sedang memperhatikan mereka berdua seperti sedang menonton sebuah drama.

"Baru?"

"Ya. Sekitar enam bulan lalu tapi, keadaannya sudah parah,"

"Laki-laki atau perempuan?"

"Laki-laki,"

"Punya saudara lain selain kamu?"

"Ada. Dia punya saudara kembar. Perempuan,"

Arsen mengangguk kecil. Dia mengeluarkan dompetnya. Menarik sebuah kartu dan meletakan kartu itu di meja tepat di depan gadis itu.

"Bawa dia ke rumah sakit besok sekitar jam 7 malam. Biar aku bantu,"

"Benarkah? Terima kasih,"

Arsen kembali membuka kulkas. Mencari makanan yang mungkin kakak iparnya tinggalkan untuk dia makan. Sayangnya, tidak ada...

"Tidak ada makanan, pi?" Tanya Arsen.

"Habis tadi pagi. Kamu terlambat datang,"

Arsen mendengus. "Dek, masak gih... kakak laper," pinta Arsen pada Alesha.

"Mana bisa adikmu itu masak. Bisa-bisa satu rumah kebakaran nanti," ujar sang ayah menyahuti permintaan Arsen.

"Saya pinjam dapurnya boleh, om?" Suara itu membuat Arsen dan Alvaro menoleh.

Alvaro mengangguk. Arsen memilih diam saja dan meletakan kepalanya di atas meja makan. Menunggu beberapa saat, makanan sederhana tersaji di depan Arsen. Semangkuk besar nasi goreng. Arsen langsung mengambil piring dan menyendok nasi goreng itu. Dia memakannya dengan lahap.

"Buset kak! Udah kayak nggak makan dua tahun,"

"Berisik, Sha! Kakak laper..."

"Naira, nanti kerja di tempat Arman saja," ucapan Alvaro membuat Arsen menelan makanannya dengan sedikit lambat.

Telinganya mendengarkan apa yang dibicarakan oleh sang ayah.

Plak!

"Udah pulang?"

Arsen mendengus setelah dia meminum air putih di depannya. Dia baru saja tersedak akibat pundaknya ditepuk keras oleh tamu yang baru saja datang. Kakak kembarnya. Arsen hanya melirik sadis ke arah kakak kembarnya itu.

"Kenapa papi manggil Arman kesini?" Tanya si kakak kembar tanpa menghiraukan tatapan membunuh dari Arsen.

"Ini, teman Alesha butuh pekerjaan. Di pusat sudah tidak ada tempat kosong. Mungkin di tempatmu ada,"

"Ada. Nanti Arman tanyakan pada Asha,"

"Kenapa tanya Asha?"

"Soalnya posisi yang nanti akan kosong itu ya sekretaris Arman. Makanya, nanti Arman tanya Asha dulu,"

Alvaro mengangguk.

"Dia orangnya, pi?" Tanya Arman pada sang ayah dan sang ayah mengangguk sebagai jawaban.

"Arman," ujar Arman memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya.

"Naira,"

Arsen yang sedang makan melihat jabatan tangan kakaknya dengan gadis di sebelah adiknya itu cukup lama. Dengan kesal Arsen memegang tangan kakak kembarnya dan menariknya.

"Jangan lama-lama!"

"Memang kenapa?"

"Nggak suka lihatnya!"

"Hah? Memangnya dia pacarmu?"

"Iya!"

Naira terkejut begitu pula Alvaro dan Alesha. Mereka terlalu kaget mendengar ucapan Arsen. Sementara Arman terkekeh kecil.

"Wah... adikku sudah besar..." godanya.

Arsen mendengus. Dia meninggalkan ruang makan dan langsung naik ke kamarnya. Arman masih terkekeh menertawakan adik kembarnya itu.

"Dasar bocah!" Ejek Arman.

"Bocah besar!" Sambung Alvaro.

[DS #3] Save Me Hurt MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang