73. Shells

488 62 3
                                    


Caroline cukup bahagia hari ini. Akhirnya mereka berdua bisa berlibur ke Pulau Hawaii setelah ayahnya tidak menepatkan janji sebelumnya untuk berlibur ke Pulau Dewata di Indonesia. Kata Leo dengan lembut, "Kita baru saja meninggalkan Indonesia beberapa bulan lalu, kau sepertinya rindu disana? Tidak ingin tinggal di tempat kelahiranmu saja di London?"

Ia hanya menggelengkan kepala bahwa perkataan ayahnya itu tidak benar. Oh, ya, hari ini mereka sedang di pantai.

Caroline tersadar ia sedang membangun benteng pasir sementara ayah duduk di dekat ombak membawa minuman warna-warni, ia tak tahu namanya bahkan meminum pun ia tidak boleh.

"Caroline, hei!"

Ada yang menepuk pundaknya sekaligus memanggil, ia menoleh kebelakang.

"Uh, ada apa, Miss?" tanya Caroline sopan, walau tak kenal dengan wanita yang memakai jubah berwarna hitam ini. Rambutnya terikat kuda dengan sangat cantik.

Lalu wanita itu mulai duduk di sampingnya. Tersenyum lebar, "Kau suka berada disini?" tanyanya.

"Suka! Tapi aku dan ayah," Caroline menunjuk Leo di kejauhan yang membuat wanita itu mengikuti arahannya. "hanya berlibur dan ayah mengurusi bisnisnya. Bagaimana denganmu, Miss?"

"Aku sebelumnya memperhatikanmu dari jauh selama ini. Dan kau anak kecil yang cantik, yang cerdas, yang menggemaskan." dia memuji tulus.

"Terimakasih, Miss?" Caroline yang berusia sepuluh tahun itu agak tersipu sekaligus bingung. Dia tiba-tiba penasaran siapakah wanita ini, "Boleh aku tahu namamu?"

"Bagaimana, ya? Kau yakin tidak mengingatku?" Dia teralihkan kepada Leo yang sedang berkenalan dengan seorang wanita. Membuat Caroline ikut memperhatikan. Dia langsung mendekatkan bibir ke telinga Caroline sebelum kehabisan waktu. "Aku adalah ibumu."

Ia terkejut dan melihatnya lebih jelas.

"Ibuku? ... Bianca?" tanyanya bingung sekaligus merasa senang. Ibunya meninggal saat ia kecil, tidak mungkin dia berada disini, dan wajahnya pun berbeda dengan foto yang ayahnya berikan. "Tapi ayah bilang, ibu sudah meninggal ..."

Senyum bibirnya terlipat, Caroline dalam hati mengira-ngira apa yang ingin wanita ini maksud. Mengapa dia tiba-tiba menanyai dan memberitahu hal yang mustahil?

"Aku adalah Mensa." katanya. "Kau sudah cukup beristirahat disini, tapi ini bukan duniamu, Caroline."

"Maksudmu?"

"Caroline, jangan menahannya lagi sekarang, ya? Aku ingin kau kembali menjalani hidupmu tanpa aku." Mensa berbisik, mengelus lembut rambut Caroline.

"Aku tidak mengerti." kata Caroline. Ini aneh dan kepalanya terasa sakit, matanya juga buram karena air mata--sejak kapan ia menangis? Ia tidak merasa sedih atau apapun, mengapa?

"Kau akan mengerti."


9 Oktober 1998

Caroline merasa jatuh, secara fisik, yang membuatnya bergetar dan menahan nafas, lalu terhenti. Serangan itu berhenti karena rasanya ada yang menahan seluruh tubuh bagian belakangnya.

Kulit tersapu angin pelan serta hidungnya mencium bau herbal. Disini gelap, tandanya ia belum membuka mata, ketika itulah bunyi berisik berdatangan-suara manusia dan alat. Caroline membuka matanya meski itu hal paling berat sekarang.

"Oh my god."

"Demi Merlin! Kita, kita harus apa, Ma'am?"

"Diam, Julian!"

Caroline memperhatikan ke kanan-kiri tidak lebih dari lirikan, shock. Apa yang terjadi? Matanya sakit pada penerangan yang sangat terang. Dua orang berbaju hijau seperti jeruk nipis sedang fokus memeriksa tubuhnya dengan sebatang tongkat kayu. Lalu, salah satunya yang merupakan laki-laki hanya bisa tersenyum pada Caroline.

Selenophile [ Draco Malfoy ]Where stories live. Discover now