Prolog

779 103 185
                                    


Sore hari Minggu, sekitar jam lima.

Cowok yang sedang dalam perjalanan pulang dari rumah temannya dalam rangka kumpul bersama itu melintasi jalan kota yang tampak lengang. Ia mendadak menahan rem motor sport putihnya ketika empat motor lain yang tidak semewah miliknya itu menghadangnya dua di depan, sementara dua lagi berhenti dibelakangnya, membuatnya tak bisa membelok, menghindar.

Ia mematikan mesin motornya, melepas helm full face yang menutupi wajah tampannya. Dilihatnya dua orang dari tiap masing-masing motor yang menghadangnya turun, berjalan mendekatinya, mengepungnya.

“Waw, kita ketemu lagi, Farren.” Sapa seorang cowok yang sepertinya pimpinan kelompok. Ia tersenyum sinis saat Farren masih setia duduk di atas motornya, memandang dingin.

Farren enggan membalas sapaan yang menurutnya sangat menjijikkan itu. Farren mengenalnya. Namun dalam artian hubungan yang buruk. Ia merutuk kesialannya dalam hati karena harus bertemu cowok sialan itu di waktu yang tidak diduganya.

“Tunggu apa lagi? Turun dan kita selesain masalah kita,” lanjut cowok itu, mengisyaratkan lewat tatapan pada pada anak buahnya yang telah bersiap memegang senjata berbahaya masing-masing seperti kayu balok, tongkat baseball, parang, pisau dan sejenis benda tajam lainnya.

Farren mendecak, ia menyugar rambut cokelat gelapnya yang ditimpa sinar senja, tampak semakin menawan. Kemudian beralih menatap orang-orang yang mulai mendekatinya dengan wajah sangar yang memuakkan di mata Farren.

Anjing biadab, lo berani muncul tiba-tiba dihadapan gue dengan bawa banyak kacung lo?” Farren tersenyum miring, “Gue rasa kekalahan lo dari tawuran waktu itu bikin lo gak terima, Deva.”

Deva, cowok yang merupakan pimpinan kelompok nakal Ganantra menggeram marah. “Sialan, gak usah banyak bacot lo, anjing! Lo bakal habis sama gue hari ini!” Deva membalas senyum licik serupa. “Hajar.”

Perintah yang diucapkan datar itu sontak memulai baku hantam yang sebenarnya. Seseorang berbadan besar sudah berada dibelakang Farren dan melayangkan kayu balok guna menghantam kepala Pangeran Pujaan Madava itu, namun sebelum membiarkan tubuhnya terluka, cekatan Farren mengelak lantas melompat turun dari motornya secepat kilat. Meloloskan pukulan kayu yang hanya mengenai udara kosong.

Farren terkekeh sarkas, “Anjing bego.” Katanya.

Bukan berarti berakhir, justru tujuh orang yang mengelilinginya ini mulai menyerang Farren yang sendiri. Suasana jalan yang tidak dilewati kendaraan lain itu membebaskan mereka melakukan baku hantam. Farren dengan tangan kosong mampu menghindari tiap serangan yang ditujukan padanya, bergantian ia membalas berupa tinjuan sekaligus tendangan pada musuh-musuhnya itu.

Sedangkan Deva yang hanya menonton perlahan merasa kesal. Lantaran sudah sepuluh menit berlalu, Farren masih terlihat mumpuni dan mengalahkan satu per satu anak buahnya. Ia menggeram, kecerdasan bela diri siswa Madava itu memang patut diakui sempurna.

Tapi sesaat ide muncul dipikirannya. Tangannya terjulur mengambil sesuatu dalam sakunya yang ternyata adalah jarum suntik dan botol kecil kaca berisi cairan zat kimia yang sengaja dibawanya dari markas secara illegal.

Deva membuka tutup botol, mengarahkan jarum suntuk itu kedalamnya guna menyedot isi cairan. Setelah penuh, ia membuang botol ditangannya, berpaling menatap Farren yang masih sibuk menerjang anak buahnya.

Lewat isyarat mata pada salah satu anak buah yang menatapnya, Deva mengangguk. Lalu Farren tak sempat menghindar saat satu tendangan berhasil mengenai punggungnya, menyentaknya ke depan dengan badan limbung, terjatuh. Keringat memabasahi wajahnya lantaran kelelahan melawan seorang diri. Farren menopang tubuhnya dengan lutut, badannya membungkuk.

Saat bersiap bangkit hendak menyerang, Deva ternyata sudah berdiri menjulang dihadapannya. Kemudian Farren tersentak akibat tusukan jarum yang menancap kuat di bahu kanannya. Farren memberontak kala dua tangannya dicekal. Pandangannya perlahan buram seiring Deva yang menekan lebih dalam jarum itu menusuk kulitnya, memasukkan cairan yang tidak diketahui oleh Farren.

“Tenang, lo gak bakal mati, suntikan ini Cuma pelumpuh organ dalam lo aja,” Deva menghabiskan isi suntikan, lalu membuangnya asal. Ia menunduk angkuh pada Farren yang bersimpuh dibawah kakinya, melihatkan efek dari zat suntik yang telah mengalir di darah cowok itu.

“Lo---” Farren mencoba bersuara, namun seluruh organnya terasa ngilu tak terperi, rasa sakit yang melumpuhkanya dalam sejemang. Suaranya tercekat. Kepalanya pusing, pandangannya kian samar, suara tawa Deva berserta anak buahnya perlahan-lahan sayup ditelinganya.

Detik itu Farren mengerti. Suntikan itu berupa racun.

Yang diingat terakhir kali olehnya adalah, kegelapan.

***

Kembali lagi dengan saya. Maafkan kalau project reset tidak bisa saya lanjut. Saya mau fokus ke cerita ini, karena saya rasa saya lebih terarah nulis Fearsome. Wkwk, kita lihat aja.

Saya apdet di hari sabtu malam aja ya, tolong vommentnya para pembaca budiman. Itu menambah antusias saya menulis.

Gimana sama prolognya? Wkkw jelek ya? Iyaiya, masih amatiran.

Okay, itu aja.

Sampai jumpa di bab 1 yang minggu depan siap meluncur, insyaallah dipercepat sih kalau pembaca mau, eheheh.

Salam Kelam
Pertiwimayang.

28.04.19.
01.06.

Fearsomeحيث تعيش القصص. اكتشف الآن