Part 2

63.8K 6.9K 200
                                    

Suasana ruang makan rumah dua lantai milik duda kaya raya tampak sangat sepi. Disana hanya ada lelaki tampan dengan setelan jas rapi, tangannya sibuk membolak-balik koran dengan sesekali meminum kopi hitam buatan pembantu di rumahnya.

"Mel! Cepat, Nak. Udah siang." Ucapnya tegas. Gadis mungil dengan seragam sekolah TK yang saat ini sudah berlari ke arah meja makan membuat perhatian lelaki tersebut teralihkan.

"Cantik gak?" tanyanya dengan senyum mengembang.

"Anak Daddy memang cantik." Pujinya tulus.

Melisya tersenyum semakin lebar, dia menarik kursi di samping Gavril untuk ikut makan pagi bersama. Mulai dari memakan roti bakar sampai meminum susu, Melisya melakukannya dengan sangat cepat.

"Dad, kemarin ada Kakak SMA takut sama Tiki." Adu Melisya pelan. Gavril melipat korannya sebelum memperhatikan tingkah anaknya.

"Ditelan dulu, Mel." Tegur Gavril lembut. Ibu jarinya mengusap ujung bibir Melisya pelan, anaknya memang selalu seperti itu. Makan dengan cepat dan meninggalkan bekas noda di sekitar bibirnya.

"Kamu kenal?"

"Enggak, kan kita penduduk baru di sini, Dad." Jawab Melisya cepat.

Gavril menaikan sebelah alisnya sebelum mengangguk pelan. Benar juga apa yang dikatakan anaknya, mereka penduduk baru. Pasti tak kenal dengan orang-orang di sana. Atau mungkin belum kenalan.

"Kamu nakutin dia?"

"Enggak, Tiki sendiri yang lari-lari ke arah Kakak itu. Tapi aku cuma ketawa doang."

"Gak boleh gitu. Siapa tahu Kakaknya punya phobia sama kucing. Seperti kamu yang takut sama ulat."

Melisya mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Dia juga lumayan menyesal setelah mendengar ucapan ayahnya. Walaupun Melisya baru berusia 4 Tahun, dia sudah sangat pintar dan mudah mengerti. Semua itu karena didikan dari Gavril, lelaki itu sangat tak mentolerir sebuah kesalahan apalagi kesalahan berulang. Saat anaknya melakukan kesalahan dan dia memarahinya, setelahnya Melisya tak boleh melakukan kesalahan itu lagi.

"Nanti aku minta maaf kalau ketemu Kakak itu lagi." Ujar Melisya dengan senyum manis. Gavril mengangguk sembari mengusap puncak kepala anaknya.

Di sisi lain, ruang keluarga rumah Ervi sudah ramai dengan celotehan balita perempuan berusia dua tahun. Teriakan-teriakannya juga sangat menganggu bagi gadis muda dengan piyama masih menempel di tubuhnya.

"Ra, kapan cari pacar?" tanya lelaki yang tengah memangku balita tersebut.

Azzura memutar bola matanya malas, hal yang paling dia tak suka saat sepupunya itu main kerumah adalah pertanyaan seperti itu. Walaupun dia tahu harusnya gadis seusia Azzura sudah menyukai bahkan bergonta-ganti pasangan. Tapi berbeda dengan Azzura, gadis tersebut masih setia dengan status jomblonya.

"Kak, niat aku itu pacaran setelah menikah. Bukan pacaran dulu tapi gak nikah-nikah." Bantah Azzura dengan lantang.

Edo menatap sepupunya dengan senyum tertahan. Melihat fisik Azzura pasti banyak lelaki yang tertarik. Namun, saat melihat kepribadian Azzura yang masih kekanak-kanakan. Pasti lelaki akan berpikir ulang daripada repot-repot hidup dengan Azzura yang banyak tuntutan dan sangat manja. Lebih baik sendiri saja.

"Emang ada yang mau?" tanya Kenzo yang baru datang.

"Dih, banyak ya. Azzura itu idola di sekolah, cuma masih pilih-pilih kandidat calon pasangan. Gak mungkin juga Azzura nikah sama yang seumuran, bisa-bisa makan hati karena debat gak mau ngalah sama aku. Nyari pasangan itu yang mau ngalah sama aku, biar rukun." Jelas Azzura panjang lebar.

Pelet Cinta Pak Duda (Open PO) Where stories live. Discover now