Semester Baru, Tetangga Baru, Sepertinya?

95 11 4
                                    

Gang Truntum siang itu terasa lebih ramai dari biasanya. Beberapa truk pengangkut barang berhenti di depan sebuah rumah dua tingkat bercat krem. Para pekerja mulai menurunkan beberapa barang muatan dengan hati-hati. Semua kegiatan mereka dipantau oleh seorang pria berumur 39 tahun dari balik kaca satu arah di rumahnya yang tepat berada di seberang.

"Tetangga go and tetangga come ya, Pa," sahut seorang anak laki-laki yang juga ikut menonton kegiatan di seberang tiba-tiba menyeletuk.

"Padahal yang kemarin baru aja pindah Januari," sambung anak laki-laki lainnya yang berbadan lebih pendek.

"Semoga perginya ga karena kita, Kak Ir," sahut anak yang terkecil tanpa melihat ke arah yang sama dengan anggota keluarganya yang lain karena matanya terpaku pada Nintendo di tangan.

"Hush, tentu saja bukan. Kita ga serusuh itu juga kali sampai bikin tetangga kapok," anak laki-laki yang dipanggil Ir itu membalas sembari mengerlingkan matanya.

"Tapi kenapa Papa tertarik banget sama tetangga baru kita? Bukannya sama-sama manusia, ya? Apa menariknya? Bahkan Papa aja uring-u ... hmphshsh," anak termuda gagal melanjutkan kalimatnya karena sudah dibekap oleh kakak tertuanya. Anak tertinggi, yang punya posisi sebagai anak kedua di rumah ini, hanya tertawa kecil melihat adegan itu. Ia berpikir mereka berdua terlihat menggemaskan.

"Kamu kalau diceritain masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Udah main Nintendo aja terus sampai kamu berubah jadi itu gumpalan pink."

"Kirby!"

"Iya itulah."

Sang ayah sedikit memperhatikan kelakuan dua anaknya itu dan tersenyum tipis sebelum kembali mengawasi penurunan barang di rumah yang sebelumnya kosong. Gang Truntum termasuk salah satu gang pendek di Perumahan Parangkusumo karena tempatnya yang sudah rapat dengan dinding pembatas dan terletak di paling ujung dari gerbang utama. Maka dari itu, hanya ada tiga rumah di gang ini. Satu memiliki dua lantai dan di seberangnya ada rumah satu lantai yang tergolong agak besar. Tepat di samping rumah besar sederhana ada rumah yang lebih kecil, satu lantai juga, tetapi masih kosong. Rumah agak besar dan sederhana inilah yang ditempati oleh Giyanta Gardapati dan ketiga anak laki-lakinya.

"Jadi apa kata orang-orang soal tetangga baru kita, Pa? Cantik? Pasti itu alasannya," anak laki-laki termuda di keluarga Gardapati bertanya karena rasa penasarannya belum terjawab.

"Karena pekerjaannya sama, Mar. Bukan karena cantik. Lagi pula yang pindah bukan perempuan," kini si Anak Tengah menjelaskan dengan sabar.

"Aku kira, huh," setelah mendapat penjelasan, si Anak Bungsu malah kembali memainkan Nintendo tanpa peduli apa yang terjadi di luar rumah. Topik tetangga baru sudah tidak menarik lagi untuknya. Reaksinya berbanding terbalik dengan sang Ayah, ia malah semakin penasaran ketika melihat mobil Range Rover Sport Putih berhenti di depan jajaran truk pengangkut barang. Mata Giyanta melebar setelah mengenali sesosok pria yang keluar dari bagian pengemudi.

"Dia?!" seruan itu membuat ketiga anaknya langsung menengok ke arah sang Ayah. 

"Kak Jati, ayah kenal orang itu?" tanya anak termuda.

"Sepertinya, sih, Mar," Jati menggosok tengkuknya seraya mencoba mengingat kalau-kalau ia sudah pernah melihat orang itu.

"Bukan sepertinya lagi. Kamu lupa ya? Ah tentu saja lupa, saat itu kamu masih empat tahun waktu Papa ajak sama Mama juga ke rumah dia. Huh, sebaiknya aku temui dia." 

Kriet ....

Tanpa diduga oleh ketiga anak laki-lakinya, pria itu langsung berjalan keluar rumah untuk menemui tetangga baru mereka. Walau kebingungan, mereka bertiga tetap mengekor di belakang sang Ayah.

"Dika! Rahandika!" seruan Giyanta berhasil membuat pria tinggi berambut kecokelatan menoleh dan menunjukkan eye smile-nya.

"Kamu juga tinggal di sini?" itu kalimat pertama yang terlontar dari Rahandika seraya memeluk teman lamanya.

"Sudah cukup lama. Tepatnya sejak saat itu," Giyanta menjawab dengan seyuman yang tidak luntur dari wajahnya. Sementara mereka saling melepas rindu, ketiga anak Giyanta terdiam dihadapan seorang anak laki-laki yang parasnya mirip Rahandika. Berbeda dengan suasana hangat yang ditunjukkan oleh dua pria dewasa di samping mereka, keempat anak laki-laki itu hanya saling bertatapan dalam canggung.

"Surajana, kamu ngapain? Sapa kakak-kakak itu, mereka temanmu," tegur Rahandika yang sadar kalau anaknya hanya diam saja.

"Halo, aku Surajana Abhipraya Jayantaka. Kakak-kakak bisa panggil aku Jana," anak itu memperkenalkan diri dengan pelan, "semoga kita bisa berteman."

"Halo, Jana. Aku Irawan Gardapati."

"Aku Surajati Gardapati."

"Aku Marendra Gardapati, ayo berteman," ketiga anak Giyanta memperkenalkan diri dihadapan Surajana yang malah menatap mereka sedikit bingung.

"Kalian bersaudara?" tanya Jana yang masih meunjukkan wajah bertanya-tanya. Mereka bertiga mengangguk serempak sebagai jawaban.

"Kak Irawan yang tertua?" lagi-lagi anak dari Rahandika bertanya.

"Iya," Irawan menjawab dengan senyuman tipis.

"Kok kamu paling pendek di antara mereka, Kak," Jana menunjuk pada Irawan kemudian ia membandingkannya dengan Giyanta, "Ayahmu aja tinggi gitu."

"Apa?" senyuman anak pertama Giyanta sedikit luntur ketika mendengar celotehan anak tetangga baru mereka.

"Jana, sini," Rahandika melambaikan tangan pada dia.

"Kalau begitu sampai jumpa lain waktu," Jana memberi mereka senyuman dan lambaian tangan sebelum bergabung dengan ayahnya.

"Yah, sepertinya kita bisa bicara lain kali. Padahal aku punya banyak pertanyaan buat kamu," Rahandika mengusap kepala Jana lalu tersenyum pada Giyanta.

"Kamu yakin ga ada yang perlu dibantu?" tanya pria 39 tahun itu pada kawannya.

"Semuanya udah beres kok. Aku hanya perlu mengarahkan penataannya. Sampai ketemu besok." Setelah percakapan mereka ditutup, baik Rahandika maupun Giyanta beserta anak masing-masing kembali ke rumah.

"Kalian semua sudah kenalan sama Surajana, 'kan?" tanya Giyanta begitu mereka sudah memasuki rumah. Mereka bertiga serempak mengangguk. Akan tetapi Irawan mendengus setelahnya.

"Ada apa?" tanya sang Ayah sembari mendekati anak sulungnya.

"Dia bilang Kak Ir paling pendek," Marendra menjawab pertanyaan itu yang langsung membuat Irawan melotot ke arah bungsu.

"Oh? Jana bilang begitu?" Giyanta membelalakkan mata kemudian mengeryit. Seingatnya dulu Surajana anak yang manis. Ah, iya, dulu, saat usianya masih dua tahun. Itu terakhir kalinya ia melihat Rahandika dan keluarganya.

"Iya, anak itu mengatai kakak begitu. Tapi, pft...," kalimatnya terputus. Marendra menatap kakak tertuanya dari ujung rambut sampai ujung kaki sembari menahan tawa.

"Aku masih 16 tahun. Besok September baru 17 tahun. Pertumbuhan cowok berhenti waktu umur 17 tahun atau 18 tahun," Irawan membalas tatapan mengejek adik bungsunya dengan memberikan pengertian bahwa ia masih bisa tumbuh lebih tinggi dari sekarang.

"Itu artinya aku bisa tumbuh lebih tinggi dari kakak," bukannya diam, Marendra malah menjawab.

"Kamu ini."

"Cukup, cukup," Giyanta menengahi perdebatan mereka lalu menghela napas, "Mau makan siang di luar? Kali ini Irawan yang pilih mau makan di mana. Dekat sini saja."

"Sebentar ... kalian mau apa?" Irawan malah melemparkan pertanyaan pada kedua adiknya.

"Aku ngikut sih, Kak," jawab Surajati pasrah.

"Ayo makan sate," Marendra memberi usulan.

"Tapi aku pengen sop ayam sih. Ayo, Pa, kita makan sop ayam," Irawan tiba-tiba saja sudah menggandeng ayahnya sebelum Marendra sempat mengatakan apapun karena merasa dikerjai balik dan Surajati tertawa melihat wajah kecewa adiknya.

"Astaga," ekspresi Giyanta juga tak jauh beda dari Surajati. Pria itu tertawa kecil lalu menghela napas, "Ada-ada aja."

The CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang