Apa yang Dipelajari?

15 8 2
                                    

"Masih ada waktu sekitar kurang lebih 2 minggu sebelum ulang tahunmu jadi Papa putuskan buat bilang ini sekarang ke kamu," Giyanta duduk di depan Irawan persis sore hari Minggu itu, "Papa bakal beliin kamu motor asal kamu bisa nyetirnya."

"Motor?" anak tertuanya itu malah terdiam sembari menatap ayahnya.

"Iya motor," ayahnya kembali menegaskan sebagai bukti kalau ia serius dengan perkataannya.

"Paling motor astrea yang ada di gudang maksudnya," Marendra menyahut yang kemudian disambut oleh tawa Irawan dan Surajati.

"Bukan, bukan. Beneran motor baru," Giyanta lagi-lagi mengklarifikasi.

"Aku boleh coba sekarang?" Irawan berhenti tertawa dan mendekati ayahnya.

"Memang itu tujuannya. Selagi ini masih tanggal 4 sore dan kita semua ada di rumah. Rasanya Papa harus melihat kemampuanmu naik motor dan melatihmu. Ayo," Giyanta kemudian berdiri dari posisi duduknya kemudian diikuti Irawan.

"Pa, kita boleh nonton?" Marendra tiba-tiba mencegat ayahnya.

"Boleh, cuma di lapangan situ kok. Ayo," semua anak Giyanta pun akhirnya ikut ke lapangan. Mereka duduk di pinggir sembari memperhatikan kakak tertua mereka.

"Kamu di depan sini, pegang setangnya dan duduk. Papa nanti duduk di belakang, mengawasi kamu," Giyanta memberi arahan pada Irawan untuk memegang kemudi motornya sementara dirinya duduk di belakang.

Setelah posisi mereka siap, baru Giyanta memberi arahan lain, "Nyalakan mesin motor. Putar kunci motornya." Irawan mengikuti arahan itu. Kini mesinnya sudah menyala, ia menunggu perintah selanjutnya.

"Buat menjalankan motornya kamu gas aja. Berhentinya rem dua tangan tapi hati-hati, pelan-pelan aja."

"Oke, Pa," Irawan pun menjalankan motor itu dengan pelan-pelan, "Beloknya gimana?"

"Ya pake setang. Belokin," jawab Giyanta.

"Belok gimana?" bukannya berbelok, motor yang mereka kendarai malah terjatuh di atas rumput lapangan.

Buk!

"Irawan belum kapok 'kan?" Giyanta segera berdiri sembari mengangkat motor sebelum membantu anaknya berdiri lagi.

"Aku mau coba lagi," jawab anak itu sembari kembali mengambil alih kemudi.

"Okay coba lagi. Pelan-pelan aja. Jangan ragu juga kalau mau belok. Muter seluruh lapangan ini dulu. Kalau hari ini bagus, minggu depan kita coba di jalan dalam perumahan dulu," Giyanta kembali duduk di bagian belakang untuk mengarahkan anaknya. Akan tetapi, tentu saja jalannya motor itu tidak langsung mulus. Tak jarang Irawan menarik rem mendadak.

Tak!

Akibatnya helm Giyanta berbenturan dengan helm anaknya.

"Papa ga apa-apa?" tanya Irawan langsung.

"Ada apa kok berhenti tiba-tiba?" ayahnya bertanya dengan memicingkan mata, melihat ke sekitar kalau ada gangguan yang terlihat.

"Tadi ada capung lewat."

"Capung?" untuk pertama kalinya Giyanta menghela napas, "Kalau ada capung ga usah ngerem. Mereka bisa terbang menghindar sendiri dan tolong jangan tarik rem secepat itu. Pelan-pelan."

"Oke, aku jalan lagi," kali ini dengan seluruh inderanya yang waspada, Irawan menjalankan motor untuk mengitari lapangan. Meskipun lambat, akhirnya ia menyelesaikan satu putaran dan melakukan putaran lain tanpa berhenti atau jatuh.

"Good, sudah lebih baik di putaran kedua. Saat ini, ga apa kalau selambat ini, tapi kalau di jalanan, jangan. Nah coba sendiri," setelah itu Giyanta turun dari motor dan membiarkan anak pertamanya itu mengendarai motor sendiri di lapangan.

"Kak Irawan lambat banget naik motornya," komentar Marendra yang duduk di tengah-tengah kedua kakaknya.

"Ga apa, baru belajar. Wajar kalau masih ragu dan kaku begitu," sahut Giyanta, "walau itu memang kaku banget sih."

Cit!

"Oh!" motor itu berhenti mendadak lagi.

Giyanta yang baru akan duduk kembali berdiri dan menghampiri anaknya, "Ada yang salah?"

"Aku ga mau ngelindes kupu-kupu," Irawan menunjuk kupu-kupu putih yang sudah terbang menjauhi dirinya sementara Giyanta menghela napas dan tersenyum. Berusaha bersabar dengan kelemahlembutan anak pertamanya itu.

"Bisa dilihat dia sudah menghindar. Ga perlu khawatir sama kupu-kupu atau apapun hewan yang bisa terbang. Kalau hewan seperti kucing atau anjing ada di depan jalanmu, baru boleh khawatir," sekali lagi Giyanta memberi nasehat, "pelan-pelan ngeremnya. Kalau terlalu kenceng dan tiba-tiba bisa jadi kamu kepental dari motor."

"Okay, dimengerti," Irawan menatap ayahnya, "kali ini aku benar-benar mengerti." Pria 39 tahun itu kemudian mengangguk dan kembali ke pinggir lapangan. Saat Irawan mencoba untuk memacu motornya lebih kencang, anak itu malah kesulitan mengendalikannya. Alhasil ia dan motornya mengarah ke tempat saudara dan ayahnya menonton, bukannya berbelok dan mengikuti jalur sebelumnya.

Tin! Tin!

"Awas!" begitu Irawan berteriak dan menekan klakson, ayah dan ketiga saudaranya yang lain langsung menyingkir. Antonio langsung berpelukan erat pada Jati yang ada di sebelahnya sementara Marendra berpegangan erat pada pinggang ayahnya.

"Remnya tarik!" Giyanta mengingatkan anaknya untuk menarik rem dan tentunya anak pertamanya itu melakukan walau sudah sedikit terlambat. Motor pun berhenti, akan tetapi ban depannya sudah menyentuh tembok pembatas.

Buk!

Irawan lagi-lagi jatuh tertimpa motor.

"Kamu baik-baik saja?" Giyanta segera membantu anaknya dengan mengangkat motor lagi. Ketika Irawan sudah kembali berdiri dan melihat seluruh badannya, ia mengangguk sambil memperlihatkan lengan kanannya yang tergores, "Ga apa-apa. Cuma luka kecil. Maaf, Pa."

"Sepertinya hari ini cukup sampai sini dulu. Kita harus cepat pulang." Jadilah mereka berjalan pulang dan sampai di rumah sebelum langit benar-benar gelap. Sesampainya di rumah, Giyanta langsung merawat luka di lengan Irawan dengan hati-hati.

Marendra duduk di samping mereka, melihat semua yang dikerjakan ayahnya sembari beberapa kali menggoda kakak tertuanya, "Kak Irawan kenapa kaya babi sih?"

"Apa maksudmu?" balas Irawan langsung.

"Naik motornya ga bisa belok. Kaya babi," anak itu melanjutkan ejekannya.

"Marendra," ayahnya menegur dan diiringi juga dengan juluran lidah dari Irawan, karena ia merasa ada yang membelanya.

"Babi bisa belok kok sebenarnya," sahut Antonio yang berdiri tidak jauh dari mereka.

"Itu ga membantu. Artinya aku lebih buruk dari babi," Irawan menghela napas.

"It's okay, kamu belum mahir aja. Kalau sering latihan nanti juga bisa," Giyanta menenangkan anak tertuanya itu kemudian tersenyum, "Nah sudah selesai. Motornya bagaimana? Kamu sudah lihat?" Ia kini berbicara dengan Antonio.

"Sepertinya hanya ada kerusakan minor yang kelihatan. Spakbornya pecah," anak kandung termudanya menjelaskan keadaan motor Giyanta.

"Oke, itu ga masalah. Ga digantipun juga ga apa. Sepertinya sekarang aku harus rearrange set buat tanggal 10 besok. Kalian pesan makanan saja, yang satu warung," pria itu hendak meninggalkan anak-anaknya untuk berdiskusi sendiri.

Irawan tiba-tiba mencegat ayahnya, "Aku mau belajar itu. Boleh?"

"Belajar DJ-ing?" tanya Giyanta sekali lagi untuk memastikan apa yang ia dengar.

"Iya, benar. Aku janji ga bakal merusak alatnya. Asal aku ngikutin arahan, Papa, bisa 'kan?"

"Baiklah, boleh," pria 39 tahun itu tersenyum pada anaknya, lalu berbicara pada ketiga saudaranya yang lain, "kalian lanjut diskusi makanan di studio aja. Ayo." Jati, Marendra dan Antonio mengikuti ayah dan kakak mereka.

"Kali ini benar-benar ikuti arahan Papa. Jangan melenceng, mengerti?"

"Mengerti, Pa."

The CureOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz