Baik-Baik Saja

19 4 2
                                    

"Sudah siap semua? Lihat. Topi, dasi, apalagi yang harus kalian bawa?" Giyanta menatap ujung kepala sampai ujung kaki ketiga anaknya. Ia benar-benar memastikan atribut anaknya sudah lengkap dan tidak ada yang kekurangan suatu apapun. Tentu saja ini harus dilakukan karena ia tidak ingin melihat anaknya menerima hukuman.

"Sepertinya sudah semua, Pa. Minum juga ga perlu bawa deh, cuma bentar atau nanti aku beli aja di kantin," Marendra bahkan berencana untuk berangkat dengan tangan kosong.

"Tetap bawa," Giyanta pun bergerak mengambil botol minum yang biasa digunakan Marendra lalu mengisinya dengan air mineral dan menyodorkannya pada anak itu, "kayaknya bakal panas hari ini."

Honk! Honk!

"Nah sana berangkat. Buat makan nanti pesan sendiri, Papa baru pulang nanti sore soalnya," Giyanta memakai helmnya begitu mendengar klakson bus memanggil untuk menjemput anak-anaknya.

"Okay, see you nanti sore, Pa," ucap Jati sambil bersalaman dan mencium tangan ayahnya. Irawan dan Marendra mengikuti langkah tersebut.

"Iyaa, kalian seneng-seneng, ya," pesan Giyanta.

"Aku sama Kak Irawan bagian nonton sih. Cuma Kak Jati 'kan yang mau lomba," Marendra berkata sembari berjalan keluar rumah.

"Kalau nanti angkatanku ngelawan angkatan Kak Irawan, mau dukung siapa?" Jati bertanya sembari tetap berjalan menuju bus.

"Solidaritas angkatan, lah!" setelah berkata seperti itu, Irawan tertawa kecil kemudian menepuk pundak adiknya, "Lomba aja dulu. Kalau kalian lebih kuat kayaknya aku pindah dukung kalian."

Sementara itu, Jinora, anak dari Eka dan Hera baru saja keluar rumah tepat di saat Jana berlari menyusul tiga anak Giyanta yang hampir masuk ke bus.

"Kakkk tungguuuu," ia memelankan larinya ketika bertemu Jinora, "Eh, halo, ayo masuk bareng." 

"Iya, Kak," anak itu kini mengikuti Jana.

"Naik dulu kalian berdua," Irawan mempersilahkan dua anak berseragam putih merah itu naik ke bus. Setelahnya, ia menyuruh Marendra naik. Kemudian Jati juga naik dan Irawan terakhir. Kini Irawan dan Jati duduk di bangku kedua dari belakang sementara Marendra duduk di paling belakang bersama Jati dan Jinora.

"Jinora," Marendra kini berusaha membuka dengan anak berusia 10 tahun di sampingnya.

"Ya, Kak?" setelah dipanggil, ia langsung menyahut.

"Aku mau minta maaf soal Papaku kemarin...." Begitu topik tersebut muncul, Jana juga langsung menengok ke arahnya.

"Kata Papa juga ga apa, Kak. Ga usah minta maaf," jawaban Jinora malah membuat Marendra heran.

"Iya, itulah kenapa kemarin dia bisa ngikut aku. Jinora sudah ga kesal sama Papi dan Pakde Giyanta," Jana menambahi, juga sekaligus mengonfirmasi jawaban anak dari Eka dan Hera tersebut.

"Pak Giyanta," Eka memanggil Giyanta yang baru menuntun motornya keluar dari gerbang rumah untuk menanyakan tujuannya pergi, "Arep nang di? "

"Oh, aku arep nang kantor sek. Bar kuwi baru nang studione sampeyan," jelas pria berambut panjang itu padanya.

"Podo, aku yo arep ketemu Dewo sek. Bareng sisan," Eka kini menaiki motornya. Dua pria itu bejalan menuju tempat yang sama beriringan. Tentunya, ketika sudah sampai di tujuan, pemandangan ini membuat Dewo bingung. Terlebih kini mereka berbicara dengan sangat informal.

"Kalian udah baikan?" itulah hal pertama yang ditanyakan oleh Dewo pada Eka dan Giyanta.

"Udah dong," sahut Eka yang setelah itu tersenyum. Giyanta juga menganggukkan kepalanya.

The CureWhere stories live. Discover now