Kembali Ke Rumah

23 2 0
                                    

Ini hari Rabu.

Sesuai prosedur, juga karena Giyanta sudah menunjukkan perilaku kooperatif, ia diperbolehkan pulang ke rumah siang hari ini. Tentunya mereka tidak keluar dengan tangan kosong, Eka dan Antonio membantunya membawa pulang beberapa barang bawaan.

"Pak, iki ra ngerepoti to?" sekali lagi Giyanta memastikan kalau tetangganya itu tidak merasa direpotkan dengan semua ini.

"Ora, wes rasah mikir opo-opo neh," Eka meyakinkan bahwa dirinya tidak merasa keberatan untuk membantu. Pria itu kemudian mengangguk dan mengusir pikiran buruk tentang dirinya. Pikiran bahwa ia merepotkan orang lain.

"Pa, ojeknya udah sampai. Aku duluan," Antonio menunjuk pada pengemudi ojek daring berjaket hijau yang ada di titik penjemputan depan rumah sakit.

"Ya, hati-hati," Giyanta melepas anaknya agar berangkat lebih dulu.

"Kita berangkat juga," setelah melihat anak tetangganya sudah menaiki motor ojek, Eka segera mengajak Giyanta ke parkiran motor dan berjalan pulang ke rumahnya. Ayah 4 anak itu menikmati kebebasannya dari rumah sakit. Ia mengedarkan pandang ke seluruh jalan, merasakan angin panas akhir September menerpa wajahnya dan memperhatikan pohon-pohon berdiri kokoh di tengah jalan untuk membatasi lajur kanan dan kiri. Pria itu bersyukur sebentar lagi akan kembali ke tempat aman, rumahnya sendiri.

Tiiin!

Klakson panjang dari mobil yang tiba-tiba saja menyalip Eka membuatnya langsung menunduk di atas motor sambil membelalakkan matanya. Ia terkejut, tentu saja, tetapi suara klakson itu membuatnya sedikit ketakutan. Maka tanpa sadar, tangan kanannya mencengkram erat pundak Eka.

"Pak? Rapopo ta?" Eka langsung memperlambat motornya dan memastikan orang yang ia bonceng baik-baik saja.

Setelah bisa mengatur napasnya kembali baru Giyanta menjawab, "Rapopo. Tenan." Ia mengatakan yang sesungguhnya karena sekarang dia sudah tenang lagi. Eka pun menggangguk dan kembali mempercepat laju motornya. Lebih baik bagi kawannya untuk tidak berlama-lama di jalanan saat ini karena sependek pengetahuannya, orang yang baru saja kambuh PTSD-nya akan menjadi lebih sensitif terhadap berbagai macam pemicu. Dalam kasus Giyanta sepertinya klakson mobil termasuk salah satunya.

Antonio yang sudah sampai rumah duluan disambut oleh seorang pria berbadan besar yang tersenyum ramah dan langsung menyebutkan namanya, "Antonio Gardapati. Benar?"

"Iya. Pak Dewo?" anak itu juga menanyakan nama pria tersebut.

"Ah, sudah tahu, ya?"

"Papa sering cerita soal Bapak ...."

"Panggil 'om' saja."

"Iya. Om Dewo ada keperluan apa? Papa baru jalan pulang dari rumah sakit," balas Antonio.

Dewo kemudian mengangkat dua tas kertas yang sedari tadi ia pegang, "Om bawain ini buat kalian. Dari istrinya Om." Antonio mengangguk dan kemudian membuka pagar rumahnya, setelah itu merogoh kunci di balik tanaman bambu air, membuka pintu dan mempersilakan Dewo masuk. Antonio langsung pergi ke dapur untuk memastikan pisau di sana sudah disembunyikan oleh Irawan. Setelah dirasa aman, ia pergi ke kamar Giyanta untuk memastikan apakah masih ada benda tajam di sana. Anak itu membuka laci meja dan mendengus, ternyata gunting dan cutter-nya belum sempat disingkirkan. Antonio membawa benda tajam itu ke kamarnya dan ditaruh di laci.

Ia kemudian duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Ini sepertinya adalah tuaian untuk dirinya. Dari pada Giyanta yang berdosa pada anak-anaknya seperti yang ia racaukan dalam tidurnya, lebih tepat dikatakan dirinyalah yang sudah berdosa pada ayahnya dengan terus-terusan membuat masalah. Giyanta sudah cukup menjaganya, saatnya ia merasakan yang sebaliknya.

Eka membawa masuk satu tas pakaian dan membawakannya sampai ke ruang tamu.

"Matur nuwun, Pak. Duduk dulu sama Dewo. Biar tak bawa ini ke kamar dulu," Giyanta pun membawa tasnya ke kamar, membiarkan Eka bersama Dewo duduk di ruang tamu. Antonio yang sudah selesai dengan pergulatan batinnya segera bergerak ke dapur dan menyeduh satu poci sedang teh. Ia dengan perlahan membawa poci dan dua gelas yang sekarang berada di atas nampan ke meja ruang tamu.

"Eh? Walah ga perlu repot-repot," Dewo agak terkejut ketika anak kandung bungsu Giyanta tanpa basa-basi memberi mereka teh, "Antonio boleh langsung makan aja. Itu udah Om tata di meja makan. Ada nasi juga."

"Makasih, Om," Antonio sedikit membungkuk sebelum menuju meja makan. Anak itu meneliti 6 wadah makan yang ada di sana. Ia segera mengambil piring ketika melihat ada sayur bobor diantara keenam menu yang diberikan oleh Dewo.

"Dewo bisa tahu karena Pak Eka?" Giyanta memastikan sekali lagi bagaimana teman kerjanya itu mendapatkan informasi tentang dirinya yang sedang sakit.

"Iya, aku yang tanya duluan," Dewo menghela napas, "Sebenernya ada banyak klien yang datang ke kantor selama Mas di rumah sakit. Melihat kondisi, kayaknya mas jangan kerja dulu sementara ini."

"Minggu depan aku bisa masuk ke kantor lagi. Bagaimanapun juga," kalimat itu memang terdengar meyakinkan saat diucapkan Giyanta. Akan tetapi Eka menggeleng, ia pesimis temannya itu bisa mengendarai motor sendirian dalam waktu dekat setelah apa yang terjadi.

Sementara itu di studionya yang sudah tertata rapi, Rahandika berdiam diri. Ia menyiapkan banyak alasan untuk menghindar dari ayahnya.

Pekerjaan, pembicaraan bisnis pribadi lalu apa lagi?

Meski selama 7 tahun ini ia juga tinggal di daerah Jakarta, tetapi selalu ada saja hal yang bisa membuatnya menghindar. Hanya saja kali ini tidak ada alasan. Lomba dilaksanakan siang sampai sore hari. Ia juga masih punya waktu sampai tanggal 9 di sana. Jika Rahandika mau berbohong, maka kebohongannya harus tertutupi rapi karena ayahnya punya berbagai cara untuk mengungkap kebohongannya. Matanya ada di mana-mana.

Pria itu menggelengkan kepala dan berjalan keluar studio. Setelah mengunci pintu utama, Rahandika masuk ke mobil. Belum juga mesin menyala, dirinya menghela napas karena terbayang kejadian Sabtu lalu.

"Seandainya aku tahu ...," sekarang pikiran Rahandika bukan lagi tentang rumahnya, akan tetapi tentang Giyanta. Setelah menengok temannya sekaligus mengantar kedua anaknya ke rumah sakit hari Minggu lalu, ia belum melihat wajah kawannya lagi. Ia tidak bisa menjelaskan perasaannya sendiri.

Apakah dia merasa bersalah karena sudah secara sengaja membuat Giyanta masuk mobil dan membuat PSTD-nya kambuh?

Ataukah ia merasa kesal karena Giyanta tidak pernah cerita padanya? Bahkan saat ditanya waktu itu, ia menjawab baik-baik saja. Apakah Giyanta sudah tidak percaya padanya?

Klak!

Dengan sekali tekan, mesin mobil pun menyala. Rahandika menenangkan pikirannya dengan ganti berfokus pada jalanan. Tanpa sadar, saat ini dia sama saja seperti Giyanta. Rahandika menumpuk semua masalahnya di dalam kepalanya tanpa punya orang yang bisa dipercaya untuk berbagi cerita. Mereka saling menyimpan rahasia. Bahkan rumah pun bukan tempat yang aman untuk mereka berbagi cerita. Tentu saja, Rahandika tidak mungkin menceritakan kerisauannya pada Jana. Anak itu belum mengerti. Ia pun tidak pernah cerita pada Giyanta, Rahandika tidak sampai hati membebani orang lain dengan masalah keluarganya. Satu-satunya orang yang tahu masalah Rahandika dengan sang ayah adalah istrinya.

Namun saat ini tanpa kehadirannya, siapa yang bisa jadi rumah untuk berkeluh kesah?

The CureWhere stories live. Discover now