Hari Senin, Hari Pertama Antonio

17 6 1
                                    

"Baiklah, kalian semua udah rapi. Bagus. Tinggal nunggu bisnya datang. Oh, apa Papa udah bilang kalo Antonio sekelas sama Marendra?" Giyanta menatap dua anak termudanya bergantian.

"Satu kelas?" Atas konfirmasi ulang Marendra, pria 39 tahun itu mengangguk.

"Iya, kalian satu kelas. Kamu bisa bantu Antonio beradaptasi," setelah mengatakan itu, Giyanta tersenyum, berbanding terbalik dengan Marendra yang tampak tidak terima.

"Thanks, Pa. Tapi aku bisa adaptasi sendiri tanpa bocil itu," Antonio memalingkan wajahnya ke Marendra lalu menyeringai.

Oh, tidak, membuat mereka berdua akur untuk jangka waktu yang panjang pasti akan sulit.

"Fine. Aku juga ga butuh dirimu sih," balas anak itu tak kalah sengit. Giyanta, Jati dan Irawan hanya bisa menghela napas atas betapa keras kepalanya dua anak yang lahir tahun 2008 itu.

Honk! Honk!

"Itu busnya. Kalian bisa naik," bersamaan dengan keluarnya 4 anak itu dari rumah, Giyanta juga mengambil helmnya bersiap untuk berangkat untuk briefing terkait perekaman video. Jana juga keluar dari rumah dan menyapa keempat anak Giyanta.

"Halo, Kak," anak itu tersenyum dan mendapatkan balasan ramah dari mereka kecuali satu orang, Antonio, yang hanya melirik. Melihat hal itu, Jati memilih untuk menepuk pelan kepala Jana dan membuka percakapan, "Kemarin kamu lomba dance di Grand City Mall ya? Gimana hasilnya? Kita semua nonton loh, keren kamu sama temenmu."

"Kami dapet juara satu, Kak," balas Jana sembari tersenyum. Akan tetapi, setelah itu ia tidak memperhatikan wajah Jati karena ia sudah melihat Jinora di depan pintu rumahnya.

"Keren. Oh, Jinora juga udah siap. Kamu ajak Jinora bareng aja," setelah Jati berkata seperti itu, Jana berlari menjemput Jinora yang baru keluar rumah. Jana dan Jinora naik ke bus terlebih dahulu, baru selanjutnya 4 anak Giyanta duduk di bagian paling belakang. Marendra dan Antonio melihat ke arah yang berbeda.

Irawan dan Jati membicarakan karya-karya jingle dari peserta lain yang sudah diupload oleh penyelenggara, "Kemarin sudah ada 5, kalau ada 10 yang maju ke babak selanjutnya berarti 5 sisanya diumumin hari ini."

"Aku ga berharap banyak," Irawan menghela napas lalu melihat ke arah jalanan.

"Optimis, Kak."

"Realistis aja." Setelahnya, Jati juga ikut terdiam. Ia tahu, mungkin di mulut, kakaknya itu bilang kalau ia realistis, tidak terlalu berharap, akan tetapi Jati tahu benar kakaknya itu sangat ingin menang.

Hubungan antara Antonio dan Marendra tidak membaik pula meski sekarang mereka sudah turun dari bus dan berjalan ke kelas. Sesampainya di kelas, Marendra memilih untuk duduk di depan meja guru sendirian sementara Antonio sudah berjalan ke bagian belakang kelas. Mereka bertingkah seakan tidak pernah kenal satu sama lain.

Saat anak kedua Giyanta hendak duduk di salah satu kursi, ada anak lain yang memegang kursi itu juga, "Ini kursiku."

"Semua bagian belakang udah ada yang punya," anak laki-laki yang tidak lebih tinggi dari dirinya menghadang begitu saja ketika ia hendak memilih kursi lain.

"Mana yang pasti kosong?" Antonio langsung saja bertanya seperti itu. Tentu saja, semua sekolah sama saja, pasti ada siswa yang berkelompok dan membentuk geng.

Di sini tidak jauh beda sepertinya.

"Depan meja guru, sebelah anak itu." Begitu mendapatkan informasi, Antonio langsung menuju kursi yang dimaksud dan duduk di sana, semeja dengan Marendra. Tentu saja anak itu berhenti memainkan ponsel dan melirik saudaranya itu.

The CureWhere stories live. Discover now