Harapan Terakhir

21 5 1
                                    

Bruk!

Giyanta menutup kembali jok motornya setelah mengambil amplop cokelat berisi berkas-berkas dari sana, "Antonio, untuk kali ini, biar Papa yang ngurus semuanya. Kamu jangan melakukan atau ngomong apapun kecuali diminta." Anak itu mengangguk pelan, akan tetapi mendengus dan mengerlingkan matanya ketika ayahnya tidak memperhatikan.

Ia tidak bisa berjanji untuk diam seperti itu sebenarnya.

"Baik, Pa. I'll try to," akan tetapi anak laki-laki itu berusaha. Meski ia tidak menganggap kejadian yang membuatnya dikeluarkan dari sekolah kemarin adalah akibat kesalahannya semata, Antonio masih cukup punya hati untuk tahu ayahnya mungkin terbebani dengan dirinya sekarang.

Memang pria itu tidak bilang langsung padanya, ia bisa membaca situasinya sekarang.

"Baiklah, kalau harus beragrumen, biar Papa yang melakukan itu. Ayo kita ke TU," Giyanta hendak menggandeng anak kandungnya yang bungsu itu. Sayangnya niatnya tidak bersahut baik, Antonio malah jalan lebih dulu dari dirinya. Jadilah Giyanta menyusul, bahkan mendahului anaknya berjalan. Dengan map cokelat itu dan berkas yang lengkap, ia berharap kali ini anaknya punya kesempatan sekali lagi.

"Silakan isi formulirnya, Pak. Nanti lampirkan berkas sesuai permintaan juga beserta surat alasan kepindahan," perempuan petugas TU itu menyerahkan sebuah formulir setelah menyampaikan maksudnya datang kemari.

"Terima kasih," Giyanta mengisi semua data di formulir tersebut dengan tenang. Sementata itu, Antonio duduk di sofa yang di sana sembari mengamati pemandangan asing di depan matanya.

"Sudah, ini berkasnya. Sudah saya masukkan semuanya di dalam sini," pria itu menyerahkan map cokelat bersamaan dengan formulir yang telah ia isi.

"Kami akan proses berkas dan formulirnya terlebih dahulu. Silakan menunggu."

"Baiklah, terima kasih," setelahnya, Giyanta duduk di sofa yang sama dengan Antonio. Mereka tidak berkomunikasi, sibuk dengan pikiran masing-masing meskipun anak laki-laki itu sesekali melirik pada ayahnya yang menumpukan dagunya pada tangan.

"Maaf, Pak Giyanta Gardapati," panggilan yang tidak mereka sangka akan datang dengan cepat, membuat Giyanta langsung berdiri dan menghampiri petugas TU itu, "Sekali lagi maaf. Kami belum bisa menerima anak Anda di sini karena ditemukan 3 kali drop out dari sekolah-sekolah terdahulu. Maksimal track record drop out yang bisa ditoleransi adalah sekali dan dengan pengawasan. Anda bisa ambil kembali berkasnya."

"Tidak bisa 'kah berikan anak saya kesempatan satu kali lagi?" Giyanta memohon agar mereka menerima anaknya, meski dengan catatan merah dikeluarkan dari 3 sekolah berbeda selama menempuh pendidikan SMP.

"Maaf, Pak. Saya tidak dapat mengambil keputusan yang di luar peraturan." Setelah ditolak, pria 39 tahun itu menghela napas dan mengambil map cokelat dari atas meja.

Sebenarnya sudah dapat diduga, anak kandung bungsunya bakal sulit kembali bersekolah. Terlebih lagi jika ia mendaftarkannya di sekolah negeri.

"Terima kasih, saya permisi," pria itu menatap Antonio, memberi sinyal untuk mengikutinya keluar dari sana. Percobaan pertama dan satu-satunya Giyanta untuk memasukkan anaknya ke sekolah sudah gagal. Tetapi, ia ingin agar anaknya tetap terdidik. Banyak opsi lain mulai dipertimbangkan oleh pria itu, salah satunya adalah homeschooling.

Klak!

Ia segera membuka jok motornya sesampainya di parkiran dan mengembalikan berkas bawaannya ke sana.

Bruk!

"Ayo kita pulang. Nanti Papa pikirkan lagi cari lainnya," Giyanta sudah mengenakan helm dan siap menyalakan mesin motor, akan tetapi urung ketika mengetahui Antonio tidak ada di dekatnya.

The Cureजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें