Gugur Gunung

12 4 0
                                    

"Oh, nanti sore, Pak? Bisa. Saya bisa," Rahandika berbicara pada Pak RT yang meneleponnya untuk mengajak kerja bakti sebagai warga baru. Ia menyahut dengan baik ajakan tersebut.

"Gak, Pak. Gak ganggu pekerjaan saya. Iya. Baiklah, selamat siang," pria itu kemudian menutup sambungan dan meraih kunci mobil. Hari Jumat, waktunya menjemput Jana dan juga temannya Yodha. Mereka berencana untuk latihan lagi di rumahnya. Tentu saja Rahandika memberikan izin penuh, terlebih lombanya akan dilaksanakan kurang lebih seminggu lagi. Ia ingin memudahkan anaknya sendiri melakukan apa yang menjadi hobinya.

Rahandika tahu pasti bagaimana rasanya tidak punya akses untuk melakukan apa yang dia cintai, padahal keluarganya cukup berada.

"Haish, malah merenung," setelah menegur dirinya yang terbawa lamunan, Rahandika segera bergerak untuk mengeluarkan Range Rover dari kandangnya.

Sasaran selanjutnya dari telepon Pak RT adalah Eka yang juga merupakan warga baru. Saat ini pria itu sedang melatih koreografi pada penari-penari yang akan bekerja pada proyeknya Giyanta. Jadi, ketika ponselnya berbunyi, ia mengangkatnya setelah meminta izin pada anak didiknya, "Aku terima telepon sebentar. Kalian bisa lanjut."

"Halo, selamat siang," Eka menjawab telepon selembut mungkin. Ia ingin membangun impresi baik pada Ketua RT di lingkungan tempatnya tinggal saat ini.

"Nanti sore ... setelah jam tiga, ya, Pak?" kepalanya mengangguk sembari mengingat jadwalnya hari ini. Setelah yakin bahwa ia kosong pada jam tersebut, sebenarnya bergantian dengan istrinya, barulah dijawab undangan itu, "Saya bisa, Pak. Iya. Saya akan ikut."

"Terima kasih," ia tersenyum simpul sebelum menutup telepon dan kembali ke ruang latihan, "Latihan sama saya sampai setengah tiga. Selebihnya kalian bebas. Tentang blocking dan sebagainya bisa kita bahas besok ketika or ... maksud saya Sutradara sudah menunjukkan panggung kalian pada saya. Sebenarnya akan lebih bagus kalau kalian lihat juga. Nah, sekarang kita mulai lagi. Pikirkan tentang penyanyi utamanya ada di tengah kalian ...."

"Dan ini yang akan digunakan Juanna," kostum berupa dress balet tutu dan hiasan merah muda, mengikuti saran dari Marendra, dipamerkan oleh sang perancang pada Giyanta juga manajer Juanna, "Anak itu belum pulang sekolah 'kah?"

"Belum, aku foto dulu. Terima kasih sudah memberikan anak saya kesempatan terlibat dalam desain pakaian ini," ayah dari Marendra itu tersenyum sebelum mengambil beberapa foto dari pakaian itu.

"Anak itu memang punya potensi. Anda yang mengajarinya?" Giyanta menjawab dengan gelengan pelan.

"Sepertinya bakat alami. Oh, saya kirim dulu ke Marendra." Akan tetapi, sebelum ia sempat menekan tombol kirim, sebuah panggilan masuk dan membuat nada dering Symphony No. 40 versi ponsel zaman dahulu keluar dari ponsel pintarnya.

"Ga apa, Pak. Angkat teleponnya dahulu," manajer Juanna mempersilakannya untuk mengangkat panggilan itu.

"Saya permisi dahulu," setelah berjalan ke lorong, barulah Giyanta menjawab panggilan tersebut yang ternyata berasal dari Ketua RT tempatnya tinggal.

"Halo, ono opo Pak?"

"Iso mangkat, neng ketoke nelat, sih. Haha, iyo, jek ana kerjaan."

"Nggih, nggih. Yo wes, Pak. Matur nuwun." Setelah mendengar ajakan, lebih tepatnya pengingat, untuk melakukan kerja bakti RT dari Ketua RT-nya, Giyanta menutup panggilan dan kemudian lanjut mengirim foto-foto gaun yang sudah ia ambil pada Marendra. Secara tidak sadar, senyuman tersungging di bibirnya. Tentu saja, ayah macam apa yang tidak bangga pada anaknya jika telah memiliki pencapaian sebesar ini?

Tring! Tring!

Foto-foto itu masuk ke ponsel Marendra. Ia puas dengan bagaimana mereka mewujudkan rancangannya.

The CureWhere stories live. Discover now