Nasi Berkat

16 6 0
                                    

"Papa mau kerja lagi?" Marendra tiba-tiba saja menghadang pintu utama rumah keluarga Gardapati ketika ayahnya sudah menenteng helm dan hendak pergi ke garasi.

"Iya, Mar. Papa harus kerja. Masih banyak lokasi yang harus dilihat," Giyanta memberi pengertian pada si Bungsu dengan perlahan.

"Pa, tapi ini hari Minggu. Gak bisa di rumah aja?" anak itu merajuk. Sebenarnya, tujuan Marendra agar ayahnya bisa bertemu dengan Hera lebih lama. Sudah lama Giyanta sendirian mengurus mereka bertiga di rumah ini, Marendra ingin melihat ayahnya memiliki pasangan hidup lagi.

Ia juga ingin merasakan kasih sayang seorang ibu. Tidak ada yang ia ingat soal orang tua kandungnya selain fakta kalau mereka sudah meninggal. Selain itu, juga tidak ada rasa yang tertinggal tentang mereka, terutama ibunya. Pria itu juga terkadang terlihat kesepian di mata Marendra. Ayahnya butuh pendamping hidup.

"Maaf, tentu saja ga bisa, Mar," Giyanta menghela napas, "Kalau kamu bosan di rumah, mau ikut Papa?" Sebagai balasan atas usulan tersebut, anak bungsunya menggeleng.

"Papa 'kan sutradara sekarang. Kenapa perlu ikut hunting lokasi juga? Serahin aja ke staff lain," Marendra masih gigih untuk membuat ayahnya berdiam diri di rumah.

"Justru karena Papa sudah jadi sutradara. Harus tanggung jawab sama kerjaan. Semua proyek klien sama pentingnya. Jangan sampai tim Papa mengecewakan klien dan kepercayaan Om Dewo."

"Pulangnya larut malam lagi?" tanya Marendra lagi. Kali ini wajahnya makin kusut.

"Papa usahkan ga pulang larut," Giyanta mengulurkan tangan, lalu menepuk kepala anak bungsunya pelan, "Kali ini Papa mau lihat gedung opera, bukan hutan. Jadi kalau kangen video call aja." Pria berambut panjang hitam bergelombang itu akhirnya mendapat izin dari Marendra yang sudah menyerah untuk mencegah ayahnya pergi kerja di hari Minggu. Ketika Giyanta melangkah keluar pintu, pada saat yang bersamaan Hera berdiri di depannya.

"Eh?" karena posisi mereka berdua yang begitu berdekatan, Giyanta mengambil langkah untuk mundur.

Sementara Hera malah mematung di tempat sembari memegang sebuah kotak besar, "Maaf. Sepertinya saya hampir menabrak Anda, oh, astaga, Gardapati?" Perempuan itu malah terbelalak setelah mempelajari wajah pria jakung yang ada di depannya.

"Iya, benar, saya Giyanta Gardapati," pria tersebut mengonfirmasi pernyataan Hera.

"Kau lupa denganku?"

"Kau ...."

"Festival Spectrum 2018, kita pernah bertegur sapa di belakang panggung," perempuan itu membantu Giyanta mengingat tentang dirinya.

"Oh! Itu sudah 4 tahun yang lalu."

"Itu baru 4 tahun yang lalu."

"Sepertinya saya ingat, Arachne?" Giyanta akhirnya mengingat juga nama panggung Hera.

Hal itu membuat lawan bicaranya bertepuk tangan, "Betul, itu nama panggungku dan berhentilah bicara formal. Kita sudah saling mengenal." Pria itu kemudian mengeluarkan cengiran lalu mengangguk kecil. Hera melanjutkan perkenalannya, "Nama asliku Hera Kalinda."

"Ah, betul, Hera Kalinda alias Arachne," Giyanta memasukkan informasi yanbg tidak terlalu baru itu dalam kepalanya.

"Papa selalu canggung gitu ya sama orang baru," Marendra mengintip mereka yang sedang bertukar kabar dari jendela.

"Kayak kamu engga gitu aja," balas Irawan datar, ia juga ikut melihat ayahnya bercakap-cakap dengan tetangga baru mereka.

"Kita semua sepertinya persis seperti Papa kalau ketemu orang baru," perkataan Jati membuat mereka berdua ingat bagaimana reaksi mereka sendiri ketika bertemu orang baru.

Ah, benar, luar biasa canggung.

"Sebentar, tapi sepertinya mereka sudah saling kenal. Aku dengar Tante Hera bilang begitu. Jadi Papa lupa dong?" Marendra mendengus, "Huh, memang faktor umur nyata adanya. Bisa-bisanya lupa." Irawan tertawa kecil mendengar kekesalan adiknya pada ayah mereka.

"Setidaknya mereka sudah saling kenal dan bertemu lagi 'kan?" Jati berusaha meredakan kekesalan Marendra, "Lagi pula wajar kalau pertama kali ketemu lagi sebagai tetangga canggung begitu. Buat keluarga kita itu normal."

"Aku hampir lupa, ini nasi berkat, dalam rangka kepindahanku ke sini, untuk kalian," Hera menyerahkan satu kotak yang lumayan besar. Giyanta menerimanya lalu tidak lupa juga untuk berterima kasih.

"Sebentar, aku kasih ini ke anak-anak dulu," pria 39 tahun itu kembali masuk ke rumahnya, "Irawan, ini buat kamu sama adik-adikmu. Makan aja semuanya, kalau masih kurang bisa panggil Ayo-Food. Nanti Papa yang isi saldonya." Sekarang kotak itu berada di tangan Irawan. Segera saja Jati dan Marendra mengintip isinya.

"Oh, wow, ayam ingkung? Pantes dusnya besar dan agak berat," komentar Irawan.

"Sepertinya udah cukup kita makan ini untuk siang ini," Jati menambahkan.

"Entahlah, aku kayaknya tetap bakal lapar," kata Marendra sambil tertawa kecil.

"Kalian berdua banyak makannya sih. Ini aku taruh di meja makan dulu. Kita harus bilang terima kasih juga ke Tante Hera," selagi si Anak Sulung berjalan ke meja makan. Percakapan antara Hera dan Giyanta berlanjut.

"Ah, maaf, lagi terburu-buru, ya?" perempuan itu menyadari kalau mungkin dirinya menghambat Giyanta yang tampak akan pergi.

"Gak terlalu. Terima kasih ya, semoga betah berada di lingkungan ini, gang Truntum. Oh, harusnya mereka mengganti namanya jadi gang DJ. Kamu sudah tahu Rahandika, Raijin, juga tinggal di sini 'kan?" Hera tertawa kecil karena lelucon Giyanta soal mengganti nama gang, kemudian mengangguk sebagai respon bahwa ia sudah tahu tetangga seberang mereka adalah Rahandika alias Raijin.

"Kemarin dia membantu memindahkan barang-barangku."

"Ah okay," Giyanta mengangguk-angguk, "Sepertinya aku harus segera berangkat. Anak-anak bilang yang semalam adalah ramen darimu. Aku harus mengucapkan terima kasih atas ramennya."

"Sama-sama, itu juga makanan pilihan mereka," jawab Hera sambil tetap tersenyum.

"Tapi itu sebenarnya makanan kesukaan Om Rahandika," Marendra yang masih setia menguping kini menyesali mengapa dirinya dan Surajati terlalu segan untuk memilih apa yang disukai oleh ayah mereka. Alhasil mereka menyamakan pesanan dengan Jana.

"Sudah aku bilang kita sama aja kaya Papa kalau ketemu orang baru," Jati terkekeh kecil karena melihat wajah penyesalan adiknya.

"Cepat sebelum Tante Hera pulang. Kita bilang terima kasih," Irawan membuat mereka berhenti menguping dan berdiri di depan pintu.

"Tante Hera, makasih ayam ingkungnya!" belum sempat kakak-kakaknya menarik napas, Marendra mendahului mereka untuk berterima kasih.

"Oh, iyaa, sama-sama," perempuan berambut pirang itu melemparkan senyuman pada tiga anak Giyanta, kemudian melempar pandang pada ayah mereka yang sekarang sudah memakai helm, "Hari Minggu ... ada job?"

"Ada, sebagai Sutradara Giyanta Gardapati bukan DJ Gardapati," Giyanta menjawab sambil melempar senyum lebar.

"Ya sudah, hati-hati di perjalanan." Melihat interaksi kedekatan tetangga baru mereka dan ayahnya, Marendra jadi memiliki harapan kalau suatu saat Tante Hera bisa menjadi ibunya.

Bagaimanapun juga, di mata seorang Marendra Gardapati, ayahnya adalah pria yang tampan, baik dan bagaimana mungkin seorang perempuan akan menolaknya?

Ya, dia akan membuktikan pada Surajana kalau ayahnya yang kadang agak canggung saat bersosialisasi itu bisa memenangkan hati Tante Hera.

The CureWhere stories live. Discover now