Burung Dalam Sangkar

20 8 6
                                    

Eka memperhatikan sepasang burung lovebird cobalt yang berada di dalam sangkar depan rumahnya.

"Makan yang banyak," pria itu tersenyum lega setelah melihat kedua peliharaan barunya makan dengan lahap.

"Oh, peliharaan baru?" Rahandika yang baru saja selesai mengeluarkan mobilnya dari garasi menghampiri Eka yang selesai memberi makanan pada dua burungnya.

"Oh, ho'oh. Baru beli hari Minggu kemarin," jelas pria itu.

"Pertama kalinya pelihara burung?"

"Gak, Raijin-sama, di rumah kami yang dulu dia udah pernah pelihara perkutut tapi burung itu kabur waktu dibuka sangkarnya," Hera tiba-tiba muncul dari dalam rumah dan bersandar di daun pintu.

"Kamu masih menentangku pelihara burung setelah 24 jam berlalu?" tanya Eka sembari menaikkan salah satu alisnya.

"Aku lebih suka melihat mereka bebas terbang dari pada ada di sangkar seperti itu," perempuan itu melipat tangan, "Jinora juga setuju denganku."

"Yah, aku akan berusaha membuat mereka betah. Banyak makanan dan kalau bisa pun aku kasih sangkar emas," pria berusia 36 tahun itu mendekati dan kemudian memeluk istrinya.

"Berlebihan," desis Hera. Selagi Rahandika berbincang dengan tetangganya, ponselnya berbunyi.

Drrtt... Drrt...

Pria itu langsung mengerlingkan mata begitu tahu siapa yang berusaha menghubunginya. Ia berusaha keras menahan diri untuk tidak merutuki si pemanggil di depan Eka dan Hera.

"Kayaknya aku harus pergi sekarang," Rahandika akhirnya berpamitan.

"Arep nang di, Pak?" tanya Eka yang menangkap gerakan menjauh dari tetangganya.

"Oh, ini, mau pindahin beberapa barang ke studio baru," ia menjawab sambil membuka pintu kedua mobilnya. Terlihat meja yang sudah dilipat, tempat gitar dan beberapa gitar di sana.

"Butuh bantuan?"

"Ini ga terlalu banyak, kok," tandas Rahandika. Ia menolak dengan halus bantuan tetangganya.

"Ya wes, semangat, Pak," Eka tersenyum sembari memberi semangat pada tetangganya dan Rahandika hanya membalasnya dengan senyuman sebelum masuk ke mobil dan mengemudikannya menuju studio.

"Aneh-aneh nawarin bantuan kayak udah mandi aja," Hera langsung menatap suaminya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Yo, gampang, tinggal mandi sebentar juga selesai. Lagi pula aku mau ke Elatha juga," Eka mengendikkan bahu, "yo wes, tak adus." Perempuan itu tertawa kecil lalu menghela napas dan tersenyum.

Ia suka menikmati tiap saat bersama Eka sebagai suami dan istri.

Sementara itu Jinora, anak mereka sedang berada di ruang tari bersama Yodha, Jana dan Sentara. Mereka memang memiliki janji untuk bertemu di sana pada istirahat pertama.

"Oke, jadi, terima kasih kalian mau ke sini. Em, jadi, aku sama Yodha menemukan lomba dance beregu," Jana mulai menjabarkan alasan mereka meminta Jinora dan Sentana bertemu di sini.

"Kita butuh dua orang lagi karena minimal berkelompok 4 orang dan Jana ngerekomendasiin Jinora sementara aku ngerekomendasiin Sentana. Begitulah ceritanya, secara singkat," jelas Yodha, "Lombanya dua minggu lagi, 25 September."

"Itu waktu yang cepet sih buat belajar koreografi baru," balas Sentana, "Semoga bisa."

"Ah, Jinora gimana?" Jana menyejajarkan matanya dengan Jinora, "Tanggal 25 September ada sesuatu yang penting kah?"

The CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang