Topeng

21 2 0
                                    

Sekarang pukul 5.30 WIB di pagi hari. Irawan langsung bangun dari tempat tidurnya ketika alarm berbunyi. Ia tidak bisa bermalas-malasan untuk sementara ini karena menggantikan posisi ayahnya. Anak itu segera memanjatkan doa lalu menata tempat tidurnya. Tidak ada waktu untuk bermain ponsel, setelah mencuci muka di kamar mandi, ia segera mengambil pot penanak nasi dan menaruh beras sebanyak 300 gram ke dalamnya. Irawan langsung bergerak untuk mencuci beras itu sebanyak tiga kali, lalu membiarkan air dari kran mengalir merendam beras sampai satu ruas telunjuknya. Selesai menaruh pot ke dalam penanak nasi dan menyalakan alat itu, Irawan pergi melihat apa yang ada di kulkas.

"Mungkin pagi ini makan telur, besok sarapan mie, lalu besoknya lagi nugget," ia menyusun rencana sarapannya selama tiga hari kedepan. Akan tetapi belum sempat meraih sebutir telur, seseorang mengetuk pintu rumahnya.

Tok! Tok! Tok!

"Sebentar," Irawan segera berlari dan membukakan pintu, "Tante Hera?"

Ternyata Hera berdiri di depan pintu sambil membawa satu mangkok orak arik telur, "Ini buat kalian sarapan. Selama ayah kalian masih di rumah sakit dan belum bisa beraktivitas seperti biasa biar Tante yang masak."

Anak itu menerimanya lalu sedikit membungkukkan badan pada tetangganya, "Terima kasih banyak Tante."

"Sama-sama. Udah buat nasi?"

"Oh, udah, kok. Saya bisa buat nasinya," Irawan membalasnya sambil tersenyum.

"Kalau begitu bangunkan adik-adikmu. Minta mereka sarapan dan bersiap-siap," Hera menepuk pundaknya dan berbalik arah. Setelah Irawan menaruh mangkok itu di atas meja makan, ia segera menuju ke kamar Jati. Pemandangan yang ia lihat membuatnya kaget. Kamar adiknya itu benar-benar berantakan. Tentunya ia tidak akan kaget kalau ini kamar Marendra, anak itu memang sering kali malas menata barang-barangnya. Akan tetapi ini kamar Surajati, setahunya adiknya itu selalu menjaga kerapian kamar. Tidak kali ini, banyak tisu dan sobekan kertas berserakan di lantai. Di meja belajar ada buku novel yang terbuka dengan satu kalimat diwarnai biru.

Real eyes. Realize. Real lies.

Irawan kemudian bergerak untuk menepuk pundak adiknya itu, "Jati. Surajati Gardapati. Bangun. Kamu mau berangkat sekolah atau engga?"

Jati mengulet begitu mendengar suara kakaknya dan membuka mata, "Hm, ya. Nanti aku langsung sarapan." Setelah berhasil, Irawan berpindah ke kamar selanjutnya. Anehnya, kamar Marendra malah bersih dan rapi.

Apakah ini hari kebalikan?

"Marendra Gardapati, bangun," Irawan segera menepuk pundak adiknya.

"Hmm, Marendra udah bersihin kamar kok, Pa. Marendra ga bakal nakal biar Papa ga sedih dan sakit terus," bukannya langsung bangun, anak itu malah membalas seakan Irawan adalah Giyanta.

"Marendra, aku bukan Papa. Cepat bangun dan sarapan," kakak tertua Marendra menepuknya lagi.

"Hmmmmmmm, maaf, 5 menit lagi," anak itu membalas lagi tanpa membuka mata.

"Terserah. Intinya cepet bangun," Irawan berjalan ke meja makan, lalu melihat jendela luar. Biasanya jam setengah 6 lebih ayah mereka sudah ada di dapur untuk masak. Irawan kadang menggantikannya masak sebentar untuk membangunkan adik-adiknya. Sekarang, ia menggantikan seluruh peran ayahnya sementara sampai waktu yang tidak ditentukan. Memang ayahnya akan pulang ke rumah hari Rabu, tetapi itu bukan berarti Giyanta bisa langsung kembali seperti semula.

Irawan tidak tahu seberapa banyak yang sudah ayahnya tahan sendirian. Ia tidak tahu juga seberapa banyak yang ayahnya sembunyikan dari mereka. Giyanta selalu tahu semua kesulitan anak-anaknya akan tetapi tidak sebaliknya.

The CureWhere stories live. Discover now