Jalan Lain

16 6 1
                                    

"Ini bukan masalah besar, Pa. Biasa lah, kepentok meja," Marendra menarik tangannya dari sang ayah.

"Hati-hati dong, Mar," Giyanta kemudian menatap anak termudanya itu sembari menghela napas.

Jadi memang benar pemikiran Antonio, itu bukan masalah besar. Tetapi mengapa ia terus-terusan memikirkan memar kecil di tangan Marendra? Bahkan barusan ia menayangkan reka ulang saat adiknya bilang pada ayah mereka kalau penyebab memar di tangannya adalah karena kecerobohannya sendiri.

"Kak," Marendra yang baru saja menulis bagiannya dalam kerja kelompok segera menegur saudaranya yang juga satu meja dengannya.

"Hm?" Antonio kembali memperhatikan soal-soal yang harus ia kerjakan, bukannya tangan Marendra, "sini kertasnya." Dalam diam, anak itu menyerahkan kertas itu pada kakaknya. Jika dilihat dari luar, mereka seperti sepasang saudara yang tidak akur. Memang, akan tetapi, Marendra sendiri bertanya dalam hatinya mengapa Antonio terus-menerus melihat tangannya dengan serius. Kalau kakaknya itu Superman, pasti tatapan itu sudah menghasilkan tembakan laser. Apakah dia curiga padanya? Kasihan karena ia terlalu lemah? Peduli? Memangnya ada frasa 'peduli Marendra' di kamus Antonio?

"Selesai," anak laki-laki itu berdiri sambil membawa kertas berisi jawaban mereka berdua.

"Huh?" Marendra langsung melihat ke arah saudaranya dan mengerutkan dahinya.

"Jawabanmu sudah benar semua," setelah menjawab seperti itu, Antonio langsung bergerak menuju meja guru untuk mengumpulkan pekerjaan mereka berdua sementara Marendra hanya bisa menonton. Sebenarnya dari pada segan, lebih tepat dikatakan bahwa Marendra takut pada Antonio. Meski kadang ia menggertak kakaknya, tetapi itu hanya topengnya agar tidak terlihat terlalu lemah.

Marendra benci dianggap begitu.

"Makasih," setelah Antonio kembali ke kursi, adiknya mengucapkan terima kasih dengan cepat secara canggung. Sebagai respons, ia hanya mengangguk pelan.

Setelah pelajaran berakhir, jam istirahat datang. Tanpa banyak bicara, Marendra jalan di depan dan Antonio mengekor di belakangnya. Setidaknya ia tahu, dengan mengikuti Marendra, dirinya bisa sampai di kantin tanpa tersasar. Sesampainya di kantin, mereka berdua juga memiliki tujuan sendiri-sendiri. Marendra langsung pergi ke penjual bakso sementara Antonio masih melihat-lihat apa saja yang ada di sana.

"Bu, sotonya satu," akhirnya Antonio membuat keputusan, "Berapa?"

"Lima ribu, Mas. Duduk di mana?" sebelum menjawab pertanyaan itu, Antonio melihat ke sekitar. Lagi-lagi, satu-satunya tempat  kosong adalah meja yang sudah diduduki Marendra.

Sepertinya ia ditakdirkan untuk tidak bisa jauh-jauh darinya.

"Meja itu, Bu," tunjuk Antonio.

"Siap, Mas." 

Tentu saja, mereka kembali saling diam dan fokus pada ponsel masing-masing selagi menunggu makanan.

"Apa aku boleh duduk sini?" seorang anak tiba-tiba sudah berdiri di sebelah Marendra. Mau tidak mau, Marendra memalingkan wajah dari ponselnya dan menyambut orang baru yang mau duduk bersamanya.

"Oh, boleh. Boleh," anak bungsu Giyanta itu memberi ruang.

"Em, boleh kenalan, Kak?" ia mengulurkan tangan pada Marendra, "Namaku Mosha Arkananta Danendra, you can call me Mosha." Pembawaan ceria dari Mosha membuat Marendra sedikit terkejut. Anak itu kemudian menjabat tangan Mosha dengan canggung, "Marendra. Marendra Gardapati. Salam kenal."

"Ah, Kak Marendra Gardapati," Mosha mengangguk-angguk kemudian memutar arah duduknya sehingga ia dapat melihat Antonio duduk diseberangnya.

"Sudah kenal 'kan?" atas tanggapan dingin dari calon lawan bicaranya, anak dari keluarga Danendra itu pun mengurungkan niat untuk mengajak teman barunya bicara.

"You both have same last name. Brothers?" Mosha langsung bertanya karena menyadari kesamaan dalam nama Marendra dan Antonio.

"Ya."

"Bukan urusanmu."

Sejenak keheningan terjadi di antara mereka karena ada perbedaan jawaban yang diucapkan serentak. Marendra tidak menyangkalnya sementara Antonio tidak mau memberi jawaban pasti. Akan tetapi, Mosha tetap tersenyum, "You two are brothers."

"Permisi, ini soto dan baksonya. Masnya bakso juga ya," ibu yang mengantar langsung membawa 3 mangkok di atas nampan.

"Iya, Bu," Mosha, yang ditanya, menjawab cepat.

"Satu soto dan dua bakso di meja ini," dengan perlahan, ketiga mangkok itu diturunkan dari nampan dan menemui pemesannya, "Selamat menikmati."

"Terima kasih, Bu." Meja itu tidak menjadi hening, tetapi hanya ada suara sendok dan garpu yang beradu dengan mangkok. Ketiga anak laki-laki yang menempati meja itu fokus pada makanan mereka. Mosha makan dengan santai berbeda dengan Marendra dan Antonio yang seakan-akan sedang berada dalam kontes makan dengan cepat.

"I'm done. Duluan ya Mosha," Marendra yang sudah selesai mengosongkan mangkoknya memilih beranjak duluan dan pamitan dengan tersenyum pada Mosha. Ketika ia tidak sengaja bertatapan dengan Antonio, senyumnya kembali luntur.

Menarik, pikir Mosha setelah melihat dinamika aneh pasangan saudara yang beberapa menit lalu berada di meja yang sama dengannya. Ia kembali makan meskipun sadar Antonio juga sudah angkat kaki dari meja itu tanpa berpamitan padanya.

"Ah lama banget. Mana duitnya? Keburu istirahatnya selesai nih!" Suara bentakan terdengar sayup-sayup dari arah kolong tangga membuat Antonio berhenti berjalan dan berniat untuk melihat apa yang terjadi di sana. Akan tetapi, belum juga berhasil melihat apa yang sebenarnya terjadi, anak itu ditarik oleh seseorang untuk mundur.

"No, kekerasan bukan satu-satunya jalan di sini," Mosha, anak yang menarik Antonio, langsung memberikan alasannya tanpa membiarkan anak yang setahun lebih tua darinya berbicara, "I'll show you the way." Karena tidak ingin membuat keributan yang menyebabkan kaburnya pelaku pemalakan yang mereka incar, Antonio tidak menanggapi dan memilih membiarkan Mosha menjalankan rencananya. Jika itu gagal, ia tahu apa yang harus dilakukan.

Dengan perlahan, Mosha mengeluarkan ponselnya dan menekan beberapa pilihan di layarnya sebelum membiarkan kamera ponsel merekam kegiatan pemalakan yang sedang terjadi. Mosha tetap bersembunyi, menempelkan diri pada bagian bawah tangga yang masih tertutup tembok tembok sementara tangannya menjulurkan ponsel ke kolong tangga.

Dug! Bug!

Suara pukulan beberapa kali itu membuat Antonio hendak pergi memukul pelakunya. Untungnya, Mosha berhasil menahan dengan menunjukkan hasil rekaman.

"Kita pergi dulu, Kak," bisiknya sambil menarik lawan bicaranya menjauhi tempat kejadian. Setelah itu, Mosha mengirim hasil rekamannya ke kontak guru bimbingan dan konseling. Akan tetapi itu bukan langkah utamanya. Mosha memilih fitur 119 yang ada di jam tangannya. 

"Good, beliau akan ke sini."

"Why'd you so sure about it?" Antonio mengerutkan dahi.

"Because ...," Mosha kemudian menunjuk ke arah seorang guru pria dan satpam berlari ke arah mereka, "it's how this watch works and this not the first time." Ketika masalah sudah berada di tangan yang tepat, Mosha mengajak kawan barunya pergi dari tempat perkara. Antonio benar-benar merasa asing dengan semua kejadian ini. Guru benar-benar menindak pemerasan dan perisakan? 

Betapa anehnya itu.

"Our school is different, Kak," balasan Mosha membuat ia sedikit terkejut, "That's also the reason why you here at the first place."

"Huh, it's not like I'm already count as regular student here. Masa percobaan sebulan," tegas Antonio.

"That's why aku bilang ke kakak kalau ada cara lain untuk menghukum mereka."

"You clearly know so much about this school," langkah Antonio terhenti ketika menyadari dari mana lawan bicaranya bisa tahu sebanyak ini padahal dia masih kelas 7, "Right, Arkananta Danendra. Of course, son of conglomerate pasti punya banyak informasi. I hope this is the last time we talking like this."

"Why?" Mosha memiringkan kepalanya, bingung atas perkataan dingin kawan barunya. Akan tetapi, bukan penjelasan yang ia dapat. Antonio pergi begitu saja meninggalkan Mosha yang masih terdiam. 

"Huh, what an interesting situation."

The CureWhere stories live. Discover now